Pengaplikasian smart city pada suatu konsep kota terkadang masih sebatas kemudahan dalam penerapan teknologi dan informasi.  Dalam sudut pandang yang lain hal  ini lebih tepat disebut dengan digital city. Teknologi digital hanyalah sebagian kecil dari suatu konsep yang disebut dengan smart city. Dengan kata lain teknologi hanyalah salah satu sarana untuk mencapai smart city. Dengan berkembangnya teknologi informasi di masa digital ini, memudahkan semua masyarakat dalam berbagai bidang kehidupan.

Konsep smart city memiliki cakupan yang sangat luas. Karena smart city tidak hanya selalu dirancang dengan teknologi namun dengan aspek lain seperti pemberdayaan masyarakatnya, pemenuhan dan peningkatan kualitas sarana dan prasarana, peningkatan kualitas pelayanannya maupun dari perbaikan kualitas lingkungannya. Selain itu smart city juga dapat ditinjau dari kebijakan-kebijakan yang diberlakukan dalam suatu kota. Dimana suatu kebijakan dalam smart city seharusnya dapat mencerminkan kualifikasi dari smart city itu sendiri.

Contoh suatu kebijakan yang dapat dikatakan suatu kota mencerminkan smart city ialah, UU no 26 Tahun 2007 tentang penataan ruang terbuka yang menyatakan bahwa “30% lahan perkotaan harus Ruang Terbuka Hijau (baik privat maupun publik)”. Kebijakan ini tentunya memiliki dasar yang kuat dimana 30% RTH dapat menyeimbangkan kepadatan kota yang terpolusi dengan berbagai aktivitas manusia.

Seperti yang sudah sering dibahas dalam konsep smart city. Smart City memiliki 6 karakter dalam sebuah kota. Giffinger (2007) Yaitu : Smart People (Baik secara Individual maupun Sosial), smart living (Fisik maupun social), smart environtment, smart governance (Politik, Kebijakan dan manajemen) , smart economy, dan smart mobility. Semua karakter tersebut memiliki perannya masing-masing dan apabila diperhatikan lebih dalam, semua aspek saling berkaitan satu sama lain. Suatu kota dapat dikatakan menuju pada smart city apabila beberapa karakter dari 6 karakter tersebut sudah menjadi fokusan dalam kota. Tidak ada yang paling krusial dari keenam karakter tersebut, setiap karakter merupakan aspek yang harus diusahakan oleh setiap kota demi menuju suatu kota yang smart.Semua karakter yang smart dapat ditempuh dengan mengawali satu per satu dari keenam karakter tersebut, langkah demi langkah. Sebagai brainstorm, dari keenam karakter tersebut mana yang harus didahulukan? Darimana sebuah kota sebaiknya mulai memikirkan kotanya menuju smart city? Karakter mana yang harus difokuskan terlebih dahulu?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak dapat dijawab dengan hanya dengan satu sudut pandang. Dalam berbagai kasus di berbagai kota dengan latar belakang yang berbeda, setiap kota memiliki permasalahan yang berbeda dan bermacam-macam. Bagaimana step awal membentuk smart city tetap harus disesuaikan dengan kondisi kota itu sendiri. Yang dimaksud dalam hal ini, sebuah proses menuju smart city adalah permasalahan yang relatif tergantung pada kebutuhan dan konteks budaya maupun latar belakang dari setiap kota itu sendiri.

Keenam karakter tersebut memang tidak ada yang paling krusial dan harus diperhatikan semuanya dalam membentuk smart city, namun apabila dipikirkan dari cara berfikir rasional , semua memang berawal dari manusianya. Bagaimana manusia dalam kota berperlaku, berfikir dan bertindak yang menjadi pendorong kemajuan suatu kota menjadi smart city. Dari sini dapat disimpulkan bahwa smart city bukan selalu tentang teknologi digital yang memfasilitasi aktivitas manusia di dalamnya namun juga dari berbagai aspek dan komponen dalam kota itu sendiri, baik manusianya, pemerintahannya, ataupun lingkungannya.