Kawasan permukiman kumuh di Indonesia hingga saat ini belum terselesaikan, terutama pada perumahan dan kawasan permukiman di wilayah perkotaan. Banyak hal yang mempengaruhi permukiman kumuh di Indonesia, salah satu faktor utamanya adalah pertumbuhan penduduk yang mendorong pertumbuhan permukiman semakin melaju cepat. Menurut data yang diambil dari PU Cipta Karya bahwa jumlah penduduk global di perkotaan mengalami peningkatan mencapai 60 % pada tahun 2030 dan 70% pada tahun 2050 dengan jumlah penduduk lebih dari satu juta jiwa akan mencapai 450 kota, dengan 20 kota masuk kategori megacity dengan penduduk daerah sekitar 10 juta jiwa. Peningkatan pertumbuhan ini juga berpengaruh terhadap peningkatan migrasi penduduk dari desa menuju ke kota.

Setiap kota yang menjadi magnet migrasi penduduk belum tentu memiliki kesiapan secara infrastruktur dan regulasi yang memadai untuk menampung dan mengakomodasi permasalahan kumuh yang akan menjadi masalah di masa yang akan datang. Pemerintah Pusat melalui Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat memilik arah kebijakan dan strategi tahun 2020-2024 dalam pembangunan perumahan untuk peningkatan kualitas rumah tidak layah huni dan penyediaan rumah baru layak huni. Peningkatan kualitas perumahan dilakukan dengan strategi dukungan regulasi untuk mengakomodasi untuk peningkatan kualitas bagi rumah yang ditempati oleh lebih dari satu keluarga secara bersama. Secara bersamaan beberapa pemerintah daerah juga tanggap untuk bisa mengakomodasi dan memberikan penyelesaian terhadap permasalahan perumahan dan kawasan permukiman kumuh salah satunya di Kota Solo dengan mengusung membangun Rumah Deret dengan Konsep Urban Renewal untuk mengatasi permukiman kumuh di pinggiran sungai di Kota Solo.

Rumah Deret yang dibangun di Kota Solo bukan hanya sekedar membangun rumah untuk masyarakat yang sebelumnya berupa permukiman kumuh dan diberikan label “Rumah Deret” saja, namun Pemerintah Kota Solo memberikan keterbukaan kepada masyarakat untuk ikut serta secara aktif dalam desain perumahan yang dikehendaki (desain partisipatif) dengan mempertimbangkan kebutuhan ruang yang menjadi kebutuhan dari warga terdampak bukan keinginan pribadi ataupun kelompok saja. Pemerintah Kota Solo juga memberikan pengetahuan dan membangun pengetahuan terhadap pentingnya hidup sehat dan perilaku hidup sehat ketika nanti masyarakat menghuni perumahan baru yang baru saja dibangun oleh pemerintah. Untuk bisa mewujudkan Rumah Deret ini perlu peran dari beberapa pihak mulai dari masyarakat/ kelompok (warga terdampak), pegiat permukiman sebagai pendamping, pemerintah kota sebagai regulator dan mendorong kelancaran program ini, dan bantuan dari swasta untuk pendanaan melalui CSR.

Rumah Deret Kota Solo dalam pelaksanaannya memberikan penerapan desain yang baru dengan mengenalkan masyarakat tentang perubahan hunian horisontal menuju ke vertikal karena adanya keterbatan lahan yang dipahami bersama-sama, memadukan antara hunian dan tempat usaha sehingga tetap mempertahankan mata pencaharian untuk bisa meningkatkan pendapatan masyarakat yang mendiami Rumah Deret, menciptakan ruang komunal atau ruang bersama seperti ruang jemur bersama, , ruang bermain anak,  parkir bersama, dan ruang pertemuan untuk menguatkan budaya gotong royong dalam masyarakat serta sebagai wadah untuk masyarakat dalam mengelola Rumah Deret ini secara kolektif oleh paguyuban yang telah terbentuk sebelumnya. Pencegahan kumuh pasca pembangunan dapat di minimalisir karena masyarakat sadar akan pentingnya saling menjaga lingkungan baru ini dengan pengelolaan bersama, peran pemerintah yang selalu memonitor dan mengevaluasi pasca huni dan penerapan sanksi yang dipahami secara kolektif oleh masyarakat.

Melihat keberhasilan Pemerintah Kota Solo dalam membangun Rumat Deret ini, tidak lepas pentingnya semangat gotong royong dari berbagai sektor dan faktor untuk bisa mewujudkan hunian yang sehat, dengan keterbatasan lahan di daerah perkotaan dan menurunkan prosentase rumah kumuh di Indonesia. (PNG/CARITRA)