Luasan lahan pertanian di Indonesia terus mengalami penurunan. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat sekitar 60.000 hektar per tahun lahan pertanian mengalami alih fungsi menjadi lahan bukan pertanian. Kementerian Pertanian pada tahun 2013 mencatat bahwa luas lahan pertanian sawah di Indonesia adalah 7,7 juta hektar, namun pada 2018 berkurang menjadi 7,1 juta. Dalam 5 (lima) tahun lahan pertanian di Indonesia berkurang seluas 600 ribu hektar. Ironisnya, alih fungsi lahan ini tidak menyurutkan semangat kelompok-kelompok tani di desa untuk mulai melakukan inovasi pertanian dengan keterbatasan lahan.

Faktor penyebab terus berkurangnya luasan lahan pertanian adalah pertambahan penduduk, kebutuhan lahan perumahan, berkembangnya industri, dan kebutuhan lahan untuk fasilitas umum. Julukan sebagai negara agraris saat ini akan menghilang ketika petani – petani yang usianya sudah tua tidak mampu lagi menggarap sawah, belum lagi ditambah kurangnya minat generasi muda untuk terjun di bidang pertanian, khususnya untuk pertanian pangan. Beberapa alasan para petani mau menjual dan merelakan lahannya untuk dialih fungsi yaitu hasil dari mengelola lahan pertanian yang rendah, penguasaan teknologi pasca panen yang rendah, serta tingkat impor yang tinggi. Dan juga kurangnya pendampingan bagi Kelompok Tani Desa untuk selalu berinovasi dan mengembangkan ragam produk pertanian.

Sungguh miris melihat kondisi sektor pertanian Indonesia saat ini. Dinamika lahan pertanian yang terus berkurang menunjukkan bahwa sektor pertanian bukan merupakan sektor unggulan dalam perekonomian Indonesia di masa depan. Bahkan nyatanya saat in, Indonesia masih mengimpor bahan pangan dari negara lain. BPS mencatat selama tahun 2019 negara kita telah mengimpor 444 ribu ton beras, 4,9 juta ton gula, dan 2,6 juta ton kedelai dari negara lain.

Jika dinamika seperti ini terus terjadi, maka diproyeksikan lahan pertanian akan terus berkurang hingga tidak sebanding dengan pertumbuhan penduduk. Krisis pangan menjadi ancaman di masa depan yang disebabkan karena kurang meratanya distribusi hasil pertanian serta ketergantungan impor pada sejumlah komoditas pangan.

Sektor pertanian sebagai aktivitas ekonomi sebagian besar masyarakat pedesaan harus dijaga dan dilestarikan. Untuk menjaga lahan pertanian, maka perlu dilakukan usaha untuk meningkatkan produktifitas lahan pertanian dan kualitas hasil pertanian. Dalam konsep pembangunan berkelanjutan, perlu dilakukan pemberdayaan masyarakat agar dapat menjaga tujuan pembangunan dari masa kini hingga masa mendatang. Dalam lingkup paling kecil, kelompok tani desa menjadi sumber daya manusia yang dapat mengembangkan sektor pertanian. Apalagi kondisi saat ini, masyarakat diminta kembali mengoptimalkan lahan mereka untuk pemenuhan kebutuhan pangan.

Kelompok tani desa merupakan lembaga kemasyarakatan yang beranggotakan warga desa yang berprofesi sebagai petani. Kelompok tani desa dibentuk untuk mengorganisir para petani dalam kemajuan usaha pertanian, peternakan, dan perkebunan desa. Kelompok tani sebagai bagian dari pemangku kepentingan dalam pembangunan pertanian. Kelompok tani inilah pada dasarnya sebagai pelaku utama pembangunan pertanian di perdesaan. Sebagai lembaga sosial kemasyarakatan di bidang pertanian pada lingkup desa, peran kelompok tani desa adalah sebagai:

  • Wahana Belajar, kelompok tani sebagai wadah untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan pengembangan teknologi pertanian serta kaderisasi generasi muda untuk memajukan pertanian
  • Wahana Kerjasama, kelompok tani sebagai tempat memperkuat kerjasama antar sesama anggota dan antara kelompok tani hingga menjadi gabungan kelompok tani (Gapoktan) sehingga usaha tani desa lebih efisien dan mampu menghadapi tantangan.
  • Unit Produksi, kelompok tani merupakan kesatuan usaha yang dikembangkan untuk mencapai skala ekonomi desa dengan tetap menjaga kualitas, kuantitas dan keberlanjutan atau kontinuitas produksi.

Beberapa contoh kelompok tani desa yang telah berhasil mengembangkan ide dan gagasannya untuk mengembangkan pertanian di desanya:

  • Kelompok Tani Desa Mekarsari di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat berhasil meningkatkan kesejahteraan petani di desanya dengan mengembangkan kambing jenis etawa dan mengintegerasikan dengan bercocok tanam sayuran dan kebun lada.
  • Kelompok Tani Sejahtera Dusun Mirombo, Desa Rojoimo di Wonosobo berhasil mencanangkan teknologi ramah lingkungan dengan mengurangi limbah plastik dalam pembuatan bibit pertanian, yaitu alat semai ramah lingkungan (Alseral) dan alat serbaguna cangkul roda (Alserga).
  • Kelompok Tani Desa Narahan di Kecamatan Pulau Petak, Kabupaten Kapuas. Meskipun hanya beranggotakan 5 (lima) orang, Kelompok Tani Desa Narahan secara swadaya berhasil menggarap lahan seluas 9 (sembilan) hektar untuk menanam semangka dan berhasil panen hingga 100 ton semangka per tahun.

 

Alat semai ramah lingkungan (Alseral) dan alat serbaguna cangkul roda (Alserga).

https://beritalima.com/wp-content/uploads/2020/03/IMG-20200315-WA0036-768×1024.jpg

 

Hasil Panen Kelompok Tani Desa Narahan

https://cdn2.tstatic.net/banjarmasin/foto/bank/images/warga-kapuas-panen semangka_20180528_192155.jpg

 

Kelompok tani desa bisa menjadi penyelamat sektor pertanian di Indonesia. Terus berkurangnya lahan untuk pertanian disebabkan karena pandangan masyarakat bahwa petani bukan merupakan profesi yang dapat memberikan kesejahteraan di masa depan. Untuk itu peran kelompok tani desa dalam berinovasi dan terus berkarya untuk mengembangkan pertanian, dengan didukung teknologi yang ada, menjadi penyelamat sektor pertanian Indonesia di masa depan. Untuk kita yang tidak bekerja di sektor pertanian, mari kita bantu petani – petani kita dengan membeli produk pertanian lokal! (BVY-CARITRA)