Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan daratan dan lautan yang memiliki potensi besar bagi pengembangan sektor kemaritiman dan pariwisata. Oleh karena potensinya sebagai salah satu sumber mata pencaharian masyarakat, kawasan pesisir mulai bertransformasi menjadi permukiman yang dihuni oleh mayoritas nelayan. Namun demikian, paradigma kemiskinan pada wilayah pesisir masih cukup tinggi. Akibatnya, kampung nelayan berkembang semakin padat dan tidak tertib, sehingga membentuk kantung-kantung permukiman kumuh. Menurut Brahtz (1972), wilayah pesisir yang berkembang menjadi kawasan permukiman memiliki kompleksitas yang tinggi, dimana tidak hanya meliputi aspek sosial, ekonomi, tetapi juga menyangkut aspek budaya dan politik([1]).

 

Gambar Permukiman Kumuh Tambaklorok Sebelum Program Kampung Bahari

Sumber : Hasil pengamatan, 2018

 

Tambaklorok merupakan kampung nelayan terbesar di Kota Semarang yang berlokasi di Kelurahan Tanjung Mas, Kecamatan Semarang Utara. Kemiskinan dan kondisi permukiman kumuh tidak lepas dari masyarakat nelayan yang bertempat tinggal disana. Fenomena tersebut disebabkan oleh rendahnya kualitas sumber daya manusia, minimnya kepemilikan modal usaha dan teknologi, serta gaya hidup masyarakat setempat yang konsumtif([2]). Selain itu, lokasinya yang berada di pesisir utara mengakibatkan kawasan ini sangat rentan terhadap banjir rob. Berbagai program pengentasan kemiskinan dan penanganan permukiman kumuh telah dilakukan, baik oleh pemerintah maupun melalui kerjasama dengan pihak swasta.

Salah satu program  pemerintah adalah pembangunan Kampung Bahari Tambaklorok yang mulai dilaksanakan pada tahun 2015 hingga saat ini. Namun, program tersebut dinilai masih kurang efektif karena perencanaannya belum sepenuhnya melibatkan masyarakat, sehingga pada awal pengerjaan, masyarakat sempat memberikan penolakan. Penanganan permukiman kumuh yang dilakukan melalui program Kampung Bahari hanya dilakukan pada beberapa aspek, dimana hanya fokus pada aspek yang mendukung pengembangan wisata bahari. Sunarti, dkk. (2017) mengungkapkan bahwa bentuk penanganan yang parsial tersebut dapat menyebabkan kembalinya permukiman kumuh ke kondisi semula([3]). Padahal, penanganan permukiman kumuh membutuhkan kajian komprehensif yang tidak hanya memperhatikan aspek fisik dari segi infrastruktur. Aspek sumber daya manusia (social inclusion) dan ekonomi (economy inclusion) juga merupakan perihal yang tidak bisa dipisahkan. Upaya peningkatan kapabilitas masyarakat setempat dan memastikan adanya ketahanan ekonomi yang cukup untuk membentuk permukiman berkelanjutan perlu menjadi perhatian utama. Pada kenyataannya, program Kampung Bahari Tambaklorok dinilai masih minim akan aspek pengembangan masyarakat.

 

Gambar Pembangunan Program Kampung Bahari Tambaklorok

Sumber : Hasil pengamatan, 2019

 

Masalah terkait kapabilitas nelayan dimana memiliki keterbatasan penguasaan aset, modal usaha, dan teknologi belum menjadi fokus penanganan. Suhartono, dkk. (2018) menyatakan bahwa jika program tersebut tetap dilaksanakan sesuai dengan perencanaan awal, maka akan menimbulkan perkiraan dampak negatif dimana terkait biaya pemeliharaan yang tentunya akan meningkat dan menjadi beban bagi masyarakat. Oleh karenanya, program yang seharusnya meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut diindikasi dapat dimanfaatkan oleh masyarakat luar([4]). Terlebih lagi, kawasan pesisir utara Jawa (Pantura) merupakan daerah rawan bencana rob dan penurunan muka tanah setiap tahunnya. Bencana tersebut tentunya akan berpengaruh pada kondisi ekonomi masyarakat yang didominasi oleh pekerja sektor maritim. Adapun permasalahan tersebut juga perlu dipertimbangkan guna memastikan bahwa masyarakat dapat bertahan pasca pembangunan dan program tersebut dapat berjalan secara berkelanjutan. Melalui kerjasama antara masyarakat sebagai subyek utama, pemerintah sebagai pihak yang bertanggungjawab atas penataan ruang kota, pihak swasta serta lembaga non pemerintah lainnya sebagai pendukung utama upaya penanganan permukiman kumuh, maka diharapkan tujuan utama untuk membentuk permukiman layak huni dan berkelanjutan dapat tercapai. –ADS, 2020-

 

Referensi:

[1] Brahtz, J.F.P. 1972. Coastal Zone Management: Multiple Use with Conservation. New York: John Wiley and Sons.

[2] Natalia, Mita. Mukti Alie. 2014. Kajian Kemiskinan Psisir di Kota Semarang (Studi Kasus: Kampung Nelayan Tambak Lorok). Semarang: Jurnal Teknik PWK. Vol.3. No.1.

[3] Sunarti. M.Rahdriawan. AP Dewi. JR Widiarta. 2017. Hierarchy model of Tambak Lorok Slum Area Transformation to Support Marine Tourism Kampong.

[4] Suhartono. Diana Kristina. 2018. Kajian Perencanaan Program Kampung Nelayan Tambaklorok Kota Semarang. Semarang: E-Journal Undip.