Pembangunan perumahan terus bertambah seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan peningkatan taraf hidup masyarakat pada umumnya. Adanya kebutuhan dan pertambahan penduduk tersebut menunjukkan tingginya pembangunan perumahan di Indonesia. Pengembang perumahan (housing developer) memiliki peran penting terhadap hal tersebut. Pertanyaannya adalah apakah semua pengembang sudah tersertifikasi?
Namun, persoalan yang sering terjadi ialah pembangunan perumahan oleh pengembang yang tidak sesuai rencana tata ruang, tidak memiliki perizinan yang jelas, minim SPU (Sarana Pelayanan Umum) serta pembebanan berlebih terhadap lingkungan, maupun ketidaksesuaian bangunan lainnya dari aspek legal, biaya, dan teknis bangunan. Oleh karena itu, pengembang perumahan dirasa perlu memiliki sertifikat dan teregistrasi untuk menjamin kualitas rumah yang dihasilkan, terutama perumahan untuk MBR (Masyarakat Berpenghasilan Rendah).
Di sisi lain, ada kekhawatiran sertifikasi pengembang ini dapat meningkatkan harga jual perumahan MBR sehingga tak lagi terjangkau bagi MBR. Namun, Arif Sugeng Haryanto (Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman Provinsi Jawa Tengah) mengatakan bahwa seharusnya sertifikasi pengembang ini tidak meningkatkan harga jual apapun. Peraturan perundang-undangan serta acuan teknis lainnya yang sudah ada sebenarnya sudah disusun sedemikian rupa sehingga kualitas rumah dan perumahan yang dihasilkan sudah layak jual dan huni. Jika kompetensi yang disusun dalam proses pemenuhan sertifikasi pengembang sesuai dengan peraturan perundang-undangan tersebut, seharusnya dengan sertifikasi pengembang tidak meningkatkan biaya apapun. Yang menjadi tantangannya justru apakah pembangunan perumahan berjalan sesuai dengan aturan?
Ahmad Saifudin Mutaqi (Ketua Pusat Studi Real Estate Jurusan Arsitektur UII) menjelaskan mengenai pentingnya keterlibatan pengembang perumahan serta arsitek yang tersertifikasi dalam pembangunan perumahan, terutama perumahan MBR. Jika berbicara soal layak jual, perlu diingat hal ini bukan hanya soal produk rumahnya saja, melainkan produk lingkungannya juga apakah perumahan layak jual dan layak huni. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan akan perubahan mindset bagi para pengembang dalam penyediaan perumahan layak jual dan huni.
Sebelumnya, harus dipahami terlebih dahulu apa yang disebut dengan perumahan. Menurut Pak Ahmad, suatu perumahan dikatakan sebagai perumahan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, jika jumlah minimalnya sebanyak 50 unit rumah. Artinya, jika tidak sampai 50 rumah, perumahan tersebut belum bisa diklaim dengan aturan main yang berlaku, sehingga hanya soal memenuhi K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) saja. Tapi akan berbeda halnya jika telah mencapai 5000 unit rumah. Konsekuensi dari peraturan perundangan, ketika ada 5000 kepala keluarga, maka ada hal lain yang harus dipikirkan, misalkan keberadaan sekolah, layanan kesehatan, bahkan pelebaran jalan. Artinya, ketika pembangunan perumahan sudah kompleks seperti itu maka sudah harus melibatkan kualifikasi profesi tertentu, termasuk arsitek yang tersertifikasi.
Ketika sebuah pengembang perumahan menghasilkan produk yang bagus, itu akan menguntungkan semua pihak, baik itu pembeli sekaligus penghuni rumah yang dihasilkan. Pengembang perumahan itu sendiri akan mendapat reputasi yang baik sehingga mendukung sustainability dari pengembang perumahan tersebut, karena akan dipercaya masyarakat. Artinya, menghasilkan produk bagus itu bukan sesuatu yang dihindari tapi harus kita dukung.
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, sudah banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur supaya kualitas rumah yang diproduksi pengembang perumahan selalu baik, mulai dari aturan yang bersifat kawasan, kepemilikan, pembangunan, bahkan sampai konstruksi. Ketika produknya memang bagus, maka jika diaudit seperti apa pun seharusnya tidak akan ada masalah. Jadi, sekali lagi, persepsi seperti ini yang harus dibangun oleh semua pihak yang terlibat. Hal itulah yang menjadi tugas asosiasi pengembang. Seharusnya, asosiasi pengembang perumahan wajib hukumnya memberikan pelayanan kepada pengembang terkait cara mengembangkan perumahan yang sesuai dengan aturan serta menguntungkan bagi semua pihak.
Terdapat sebuah ide dari Pak Ahmad tentang bagaimana melibatkan pihak profesional yang terkualifikasi, terutama arsitek, dalam pembangunan perumahan MBR. “Di Hongkong mereka punya kompetensi dalam membangun perumahan rakyat, dan hasilnya bagus. Saya yakin kalau perumahan dirancang oleh arsitek itu akan sangat baik. Tapi saat ini kan stigmanya arsitek hanya untuk orang kaya, padahal tidak seperti itu. Makanya, kompetisi-kompetisi arsitek ini menunjukkan ada keterlibatan para arsitek untuk membangun (perumahan MBR),” katanya.
Lalu bagaimana peran pemerintah daerah dalam pengawasan serta pemberian sanksi-sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pengembang terkait aturan pembangunan perumahan ini?
Ternyata, persoalan pengawasan ini yang sulit. Sebagian besar urusan perumahan dan permukiman menjadi wewenang dan tanggung jawab pemerintah pusat dan kabupaten/kota, sementara wewenang pemerintah provinsi dapat dikatakan minim. Artinya, butuh sinkronisasi dan pembagian urusan yang merata. Pengawasan saja begitu susah, apalagi sanksi. Namun, tiga tahun ini Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman Provinsi Jawa Tengah sedang giat melakukan identifikasi masalah perumahan dan permukiman sekaligus mencoba memberikan solusi. “Kita masih mencari mekanisme supaya bisa hadir bersama-sama, termasuk pengembang perumahan,” ujar Pak Arif. Agar perumahan MBR yang layak jual dan layak huni dapat dinikmati oleh masyarakat terutama bagi MBR. (DA/MG)
Materi diambil dari sesi tanya jawab pada “Webinar Perkim Seri 14: Sertifikat Pengembang dan Sertifikat Layak Jual” pada 3 September 2020.