Pariwisata kumuh (slum tourism) merupakan salah satu konsep wisata yang pada awalnya menyajikan pemandangan tidak biasa dari masyarakat yang berada di permukiman kumuh. Pada awal perkembangan pariwisata kumuh, berbagai pihak mulai dari masyarakat, lembaga sampai dengan pemerintah banyak yang menentang karena dianggap tidak etis untuk menjadikan kemiskinan sebagai objek wisata.

Namun kini mulai bermunculan upaya untuk merealisasikan pariwisata kumuh dalam perspektif yang berbeda, yaitu dengan menyajikan kampung-kampung tematik yang memiliki daya tarik dan nilai unik khusus. Kampung Kayutangan di Kota Malang adalah salah satu contoh kampung tematik bernilai heritage yang dikembangkan menjadi destinasi pariwisata kumuh yang menawan.

Kampung Kayutangan merupakan suatu kawasan dengan bangunan heritage berarsitektur kolonial Belanda, mulai dari rumah tinggal, rumah makan, sekolah, pertokoan, maupun perkantoran (Astrini W. dkk, 2015). Meskipun dilindungi oleh Kebijakan Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Malang Nomor SK/104/U/II’80, bangunan-bangunan kuno bernilai heritage di Kampung Kayutangan kini hanya tersisa sedikit akibat adanya perubahan dan pembongkaran selama ini. Kebijakan yang ada kemudian diperkuat dan diubah menjadi Perda No. 10 Tahun 1989 yang mengatur tentang larangan merubah atau membongkar bangunan bernilai heritage, agar tidak menghilangkan ciri atau karakter visual lama Kampung Kayutangan yang menganut aliran Nieuwe Bouwen (Handinoto 1996:23).

Kampung Kayutangan memiliki sejarah yang dikelaskan menjadi beberapa periode berdasarkan perbedaan perkembangan kawasan. Pada periode pertama pra-Indiscche (sebelum tahun 1800), Kampung  Kayutangan merupakan perkampungan yang dihubungkan oleh jalan setapak. Periode selanjutnya adalah saat masuknya Belanda (tahun 1800-1940), dimana jalan-jalan besar mulai dibangun dan Kampung Kayutangan berkembang menjadi kawasan perekonomian di Kota Malang. Dengan adanya perkembangan perekonomian ini, permukiman mulai mengikuti perkembangan perekonomian yang ada, lebih tepatnya pada sisi barat Jalan Basuki Rahmat. Kampung Kayutangan mulai berkembang lebih masif lagi sebagai Pusat Perekonomian sampai dengan tahun 1980an, dimana bangunan permukiman padat dibangun mendekati area perekonomian di Kampung Kayutangan, sampai akhirnya pada tahun 1986 pembangunan kompleks pertokoan modern dekat alun-alun Malang membuat perubahan besar pada Kampung Kayutangan yang mulai ditinggalkan sebagai pusat perekonomian (Rizaldi, 2010).

(Sumber: Citra CNES/Airbus, Data peta @2018 Google)

 

Di balik nilai heritage Kampung Kayutangan, Kampung Kayutangan termasuk dalam salah satu kawasan kumuh di Kota Malang. Hal tersebut masih dapat dirasakan ketika kita menelusuri setiap gang kecil untuk melihat bangunan heritage yang tersisa di kawasan tersebut. Berangkat dari kondisi kumuh Kampung Kayutangan, pemerintah setempat bersama dengan warga lokal menginisiasi manajemen pengelolaan berbasis masyarakat (Community Based Tourism/CBT) dalam bentuk POKDARWIS untuk mengembangkan Kampung Heritage Kayutangan.

Pemberdayaan serta rasa memiliki oleh masyarakat menjadi hal utama yang diperhatikan dalam pengelolaan pariwisata di Kampung Heritage Kayutangan. Hal ini bertujuan agar partisipasi masyarakat hadir dalam setiap peran yang dibutuhkan, mulai dari anggota POKDARWIS, penjaga tiket, tour guide, penjaga lahan parkir, sampai dengan penjual makanan berasal dari partisipasi warga setempat. Selain itu, penentuan jalan strategis yang dapat dilewati pengunjung, pengembangan fasilitas dan estetika di setiap alur dan spot foto bagi wisatawan, kebijakan jam buka dan jam tutup kawasan, lokasi parkir pengunjung, sampai dengan jalan masuk kawasan merupakan hasil dari bentuk kerjasama yang baik antara POKDARWIS dengan masyarakat. Peran aktif masyarakat melalui kegiatan padat karya dan padat ide diharapkan menjadi upaya yang tepat dalam mengembangkan dan mengelola pariwisata kumuh di Kampung Heritage Kayutangan.

Sejauh ini, dampak lingkungan secara langsung dapat terlihat di Kampung Kayutangan. Masyarakat setempat lebih memperhatikan kebersihan dan kerapian lingkungan tempat tinggal mereka, terutama di bagian yang menjadi jalur eksplorasi pengunjung. Selain itu, adanya pengunjung yang datang secara tidak langsung membawa peningkatan perekonomian terhadap masyarakat. Hal ini dapat dilihat melalui warung-warung di beberapa rumah warga, toilet umum, bahkan sampai dengan galeri seni yang mulai bermunculan. Dengan adanya karakter ramah di masyarakat membawa kesan hangat dan tidak ada rasa sungkan yang timbul meskipun melewati rumah-rumah warga. Hal ini membuat wisatawan betah berlama-lama saat berwisata di Kampung Heritage Kayutangan.

Tidak ada lagi kesan kumuh yang mengganggu saat wisatawan berkunjung. Wisata yang terletak di kawasan kumuh di Kampung Kayutangan membuktikan bahwa lingkungan kumuh dapat diperindah dengan menonjolkan sisi keunikan wilayah tersebut. Nilai historis dari bangunan heritage yang ada mampu untuk menjadi perhatian utama pengunjung, suasana edukatif pun sangat terasa berkat adanya sistem informasi yang sudah tersusun rapi pada setiap sudut jalan dan berhasil mengesampingkan kesan kumuh yang awalnya berada di Kampung Kayutangan. (EVK)

 

 

 

Sumber:

Astrini W, Martiningrum I, dkk. 2015. “Studi Golden Section Pada Fasade Bangunan di Kawasan Kayutangan, Malang”.Jurnal RUAS, Volume 13 No 1

Atmaja, Ida Bagus Yoga.  2002.  Ekowisata Rakyat:  Lika-Liku Ekowisata di Tenganan, Pelaga, Sibetan dan Nusa Ceningan Bali. Denpasar: Wisnu

Handinoto dan Soehargo, Paulus H.1996. Perkembangan Kota dan Arsitektur Kolonial Belanda di Malang, Yogyakarta: Andi

Rizaldi, T. L, Hariyani, S, dkk. 2010. Pelestarian Lingkungan dan Bangunan Kuno Bersejarah Kawasan Kayutangan Kota Malang. Arsitektur e-journal, Volume 3 (2), 120-136