Semakin pesatnya pembangunan perumahan oleh pengembang perumahan menuntut adanya peningkatan pengawasan terhadap kualitas rumah yang dibangun. Tercatat di tahun 2020, ada 13.793 pengembang perumahan. Namun faktanya, sebanyak 70-80% pengembang perumahan belum memiliki pengetahuan di bidang properti. Akibatnya, berbagai persoalan kerap terjadi seperti spesifikasi bangunan perumahan yang diterima pembeli tidak sesuai dengan gambar saat promosi, masalah sertifikat yang belum diterima pembeli, serta kelengkapan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang enggan diselesaikan. Oleh karena itu, pengembang perumahan dirasa perlu memiliki sertifikat dan teregistrasi untuk menjamin terpenuhinya standar rumah layak huni.

Webinar Perkim Seri-14 “Sertifikasi Pengembang dan Sertifikat Layak Jual” pada 3 September 2020 menghadirkan dua orang narasumber yaitu Ir. Ahmad Saifudin Mutaqi, M.T., IAI, AA selaku Ketua Pusat Studi Real Estate JARS UII  dan Arif Sugeng Haryanto, S.T. selaku Sekretaris Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Provinsi Jawa Tengah. Berikut ulasan sesi diskusi webinar:

 

Adanya sertifikasi pengembang perumahan dan sertifikat layak jual mengakibatkan harga rumah makin mahal. Apa jaminannya bahwa hasil asesmen sertifikasi pengembang akan menguntungkan konsumen, terutama Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR)?

Kalau bicara soal perumahan MBR, sebetulnya sudah ada acuan teknis yang harus diikuti sehingga sudah pasti layak jual. Namun, persoalannya adalah apakah pembangunan perumahan MBR yang ada sudah sesuai dengan aturan?

Layak jual bukan hanya soal produk rumahnya saja, melainkan juga produk lingkungannya, yaitu perumahan. Perumahan juga harus layak jual, termasuk keberadaan prasarana, sarana, dan utilitas umum (PSU) yang sesuai sehingga ketika PSU rusak, masyarakat tidak harus swadaya membayar untuk memperbaikinya. Sedangkan terkait harga, apakah harus disamakan? Saya rasa perlu indeks harga properti perumahan karena kondisi setiap daerah berbeda-beda. (Arif Sugeng Haryanto – Dinas PKP Provinsi Jateng)

 

Apakah landed house di suatu perumahan dikategorikan sebagai bangunan gedung sederhana? Jika meninjau draf UU Omnibus Law Pasal 6A, bangunan gedung sederhana tidak wajib dirancang oleh arsitek. Bagaimana menyikapi hal ini agar perumahan sederhana ini dapat tetap terjamin kualitasnya?

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, pembangunan perumahan ini bukan hanya soal produk rumahnya saja, melainkan produk lingkungannya juga. Hal ini berkaitan dengan kebutuhan akan perubahan mindset bagi para pengembang dalam penyediaan rumah yang layak jual dan huni. Harus dipahami terlebih dahulu apa yang disebut dengan perumahan. Suatu perumahan dikatakan sebagai perumahan, sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku, jika jumlahnya minimal sebanyak 50 unit rumah. Artinya, jika tidak sampai 50 rumah, perumahan tersebut belum bisa diklaim dengan aturan main yang berlaku sehingga hanya terkait pemenuhan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) saja. Lain halnya jika telah mencapai 5.000 unit rumah. Konsekuensi dari peraturan perundangan, ketika ada 5.000 kepala keluarga, maka ada hal lain yang harus dipikirkan, seperti keberadaan sekolah, layanan kesehatan, bahkan pelebaran jalan. Artinya, ketika pembangunan sudah kompleks seperti itu maka sudah harus melibatkan kualifikasi profesi tertentu, termasuk arsitek yang tersertifikasi. (Ahmad Saifudin Mutaqi – UII)

 

Bagaimanakah sanksi bagi asosiasi pengembang maupun pengembang perumahan yang telah memegang sertifikat apabila melakukan pelanggaran?

Sebelum berbicara soal sanksi, hal mendasar yang perlu dilakukan adalah meluruskan mindset asosiasi pengembang dan pengembang perumahan. Ketika pengembang perumahan menghasilkan produk yang bagus, maka itu akan menguntungkan semua pihak, baik itu pembeli sekaligus penghuni rumah yang dihasilkan maupun pihak pengembang. Pengembang akan mendapat reputasi yang baik dan kepercayaan dari masyarakat sehingga mendukung sustainability dari pengembang perumahan tersebut.

Ketika produknya memang bagus, maka jika diaudit seperti apapun seharusnya tidak akan ada masalah. Jadi, persepsi seperti ini yang seharusnya dibangun oleh semua pihak yang terlibat. Hal itulah yang menjadi tugas asosiasi pengembang untuk memberikan pelayanan kepada pengembang perumahan terkait cara mengembangkan perumahan yang sesuai dengan aturan serta menguntungkan bagi semua pihak. (Ahmad Saifudin Mutaqi – UII)

 

“Sudah banyak peraturan perundang-undangan yang mengatur supaya kualitas rumah yang diproduksi pengembang perumahan selalu baik, mulai dari aturan yang bersifat kawasan, kepemilikan, pembangunan, bahkan sampai konstruksi.”

 

Lalu, bagaimana peran pemerintah daerah dalam mekanisme pengawasan dan sanksi tersebut?

Persoalan pengawasan adalah hal yang sulit. Sebagian besar urusan perumahan dan permukiman menjadi wewenang dan tanggung jawab tingkat pusat dan kabupaten/kota, sementara wewenang provinsi dapat dikatakan minim. Artinya, butuh sinkronisasi dan pembagian urusan yang merata. Pengawasan saja begitu susah, apalagi sanksi. Namun dalam tiga tahun ini, Dinas Perumahan Rakyat dan Permukiman Provinsi Jawa Tengah sedang giat melakukan identifikasi masalah perumahan dan permukiman sekaligus mencoba memberikan solusi. (Arif Sugeng Haryanto – Dinas PKP Provinsi Jateng)

 

Banyak pengembang (ilegal) yang selalu menghindar bila produknya dikatakan sebagai perumahan. Hal ini terkait kewajibannya untuk menyediakan fasum, fasos, RTH, maupun banyaknya tahapan perizinan yang harus dipenuhi. Akhirnya, mereka mengajukan perizinan satu per satu kavling yang ada. Bagaimanakah pandangan terkait hal ini?

Seharusnya para pengembang perumahan memandang rumah bukan sebagai dagangan per unit, melainkan dagangan community, yaitu bagaimana membentuk lingkungan perumahan. Di sisi lain, sudah terdapat aturan yang harus dipenuhi terkait pelayanan penduduk berdasarkan jumlah penduduk yang ada di suatu kawasan. Untuk sejumlah penduduk tertentu, maka harus ada fasilitas pendidikan, kesehatan, ataupun suatu pusat pelayanan tertentu lainnya. Jadi, persepsi seperti inilah yang harus dibangun oleh semua pihak yang terlibat. Hal itu menjadi tugas asosiasi pengembang. (Ahmad Saifudin Mutaqi – UII)

 

“Pengembang wajib memiliki sertifikat dan teregistrasi di daerah, sehingga mutu dari  perancangan rumah dapat dijamin kualitasnya, serta produk perumahan yang dibuat menjadi layak fungsi  dengan mempertimbangkan keamanan, kenyamanan, dan legalitas yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga masyarakat luas juga mendapatkan kepastian hukum dan kenyamanan bermukim dari para  pengembang yang legal dan bersertifikat.“

 

Apa saja yg sudah dilakukan oleh Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman Provinsi Jawa Barat untuk sertifikasi pengembang perumahan?

Peran provinsi untuk sertifikasi pengembang sangat kecil. Di tingkat provinsi hanya ada sertifikasi pengembang menengah. Namun di sisi lain, kami berusaha memanfaatkan forum-forum PKP untuk memetakan peran berbagai pihak yang terlibat, termasuk arsitek. (Arif Sugeng Haryanto – Dinas PKP Provinsi Jateng)

 

Dalam pembangunan perumahan, terutama perumahan subsidi, perlu sinergi yang besar dari seluruh pihak yang terlibat: pemerintah dari tingkatan pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota maupun pengembang sehingga perumahan yang dihasilkan layak jual. Sertifikasi pengembang dan sertifikat layak jual menjadi penting agar produk perumahan menjadi layak fungsi dengan mempertimbangkan keamanan, kenyamanan, dan legalitas yang dapat dipertanggungjawabkan. Dengan sertifikasi ini, masyarakat luas pun mendapatkan kepastian hukum dan kenyamanan bermukim dari para pengembang yang legal dan bersertifikat. (DA)