Singapura merupakan negara yang dikenal di dunia dengan bangunan-bangunan modernnya.  Sebut saja Gardens By The Bay yang penuh warna dan futuristik dan Marina Bay Sands berbentuk perahu. Dua bangunan tersebut sangat memperlihatkan Singapura sebagai negara industri yang modern. Tak hanya itu, Singapura sangat memberikan perhatian yang besar terhadap konsep tata kota dengan memiliki ruang terbuka hijau yang mencapai 47% dari luas wilayahnya, merupakan salah satu yang tertinggi di dunia (Setiowati et al. 2018; CUGE 2011). Namun demikian, bagaimana jika terdapat sebuah kampung atau desa yang eksis di tengah kehidupan urban negara tersebut yang dapat menjadi salah satu inspirasi untuk menambah ruang komunal?

 

Kampung Lorong Buangkok

Kampung Lorong Buangkok merupakan satu-satunya kampung yang masih tersisa di Singapura, seperti sebuah jendela ke masa lalu di tengah gemerlapnya perkotaan modern. Dengan luas sekitar tiga hektar, kampung ini terdiri dari 25 rumah dan sebuah surau atau langgar, yang semuanya dalam gaya arsitektur khas tahun 1960-an. Berbeda dengan lingkungan sekitarnya yang futuristik, kampung ini memancarkan aura nostalgia yang kuat. Lebih unik lagi, kampung ini dimiliki oleh satu individu saja, yang bernama  Sng Mui Hong.

Awalnya, tanah perkampungan ini merupakan milik ayah Sng Mui Hong, yang kemudian diwariskan kepadanya. Meskipun telah beberapa kali ditawari oleh pemerintah untuk menjual tanah tersebut, Sng Mui Hong tidak tergoda. Dia berkomitmen akan terus menjaga tanah peninggalan sang ayah yang telah menjadi janjinya semasa sang ayah hidup.

 

Sng Mui Hong Tinggal di Kampung Luarong Buangkok Sebelum Singapura Merdeka. AFP Stringer. Sumber: Getty Images

Hingga awal 1970-an, perkampungan seperti Kampung Lorong Buangkok masih dapat ditemukan di seluruh Singapura. National University of Singapore memperkirakan bahwa ada sekitar 220 kampung tersebar pada kala itu. Saat ini, Kampung Lorong Buangkok adalah satu-satunya kampung yang masih tersisa.

 

Dampak Modernisasi

Pada awal 1980-an, Singapura mengalami urbanisasi yang pesat, beralih dari ekonomi pertanian ke ekonomi industri. Gedung-gedung pencakar langit dan berbagai flat bertingkat mulai bermunculan. Jalan-jalan kecil digantikan oleh jalan raya multi-jalur yang menghubungkan seluruh kota. Proses ini berdampak pada kawasan pedesaan yang akhirnya digantikan oleh pembangunan baru. Ratusan desa tradisional digusur, flora asli dihilangkan, dan jalan-jalan tanah diratakan. Beberapa penduduk desa enggan meninggalkan tempat tinggal mereka, namun banyak yang memilih pindah ke flat bersubsidi yang dibangun pemerintah di lokasi rumah lama mereka. Saat ini, lebih dari 80% penduduk Singapura tinggal di flat yang dibangun oleh pemerintah tersebut.

Perpindahan warga ke flat juga memicu rasa kebersamaan dalam budaya Singapura. Di kampung, warga tidak perlu mengunci pintu dan keluarga-keluarga menerima tetangga yang sering datang tanpa pemberitahuan untuk meminjam peralatan. Cara hidup ini berusaha direplikasi oleh pemerintah setempat. Kini, pemerintah menambah jumlah ruang komunal bersama untuk mendorong interaksi sosial.

Pada tahun 2017, Dewan Perumahan & Pengembangan Singapura bekerja sama dengan Universitas Teknologi dan Desain Singapura untuk mengembangkan kerangka kerja bagi kampung perkotaan. Mereka juga mengembangkan pendekatan berteknologi tinggi dengan menggunakan sensor gerak dan wifi untuk mendorong persahabatan di antara tetangga. Lawrence Wong, Menteri Pembangunan Nasional saat itu, menyatakan bahwa salah satu tujuannya adalah memperkuat rasa kebersamaan sosial. “Memperkuat semangat kampung di apartemen bertingkat kami,” ujar Lawrence.

 

Bagaimana Kampung Lorong Buangkok bisa mempertahankan eksistensinya?

Salah satu alasan Kampung Lorong Buangkok masih bertahan adalah karena kawasan sekitarnya tidak begitu diminati untuk pengembangan komersial, industri, dan pemukiman – meski perlahan hal itu berubah. Dulunya, desa ini dikelilingi oleh lahan hutan dan pertanian, sekarang diapit oleh perumahan dan sejumlah flat. Mendekati usia 70 tahun, Sng Mui Hong telah menghabiskan hampir seluruh hidupnya di kampung tersebut. Sebagai anak bungsu dari empat bersaudara, dia adalah satu-satunya yang masih tinggal di desa itu. Ayahnya yang sudah meninggal, seorang penjual obat tradisional Tiongkok, membeli tanah ini pada tahun 1956, bertepatan dengan berdirinya desa dan sembilan tahun sebelum Singapura merdeka.

Menurut Kyanta Yap, seorang pemandu lokal yang memimpin tur di kampung ini, sebagian besar tanah di desa ini dulu disewakan kepada pekerja dari rumah sakit terdekat dan perkebunan karet. Banyak keturunan para pekerja ini masih tinggal di desa tersebut. Pada masa itu, sewa bulanan setiap rumah berkisar antara S$4,50 dan S$30 (Rp. 48.500 hingga Rp. 323.000). Hingga kini, Sng masih menetapkan tarif sewa yang hampir sama kepada 25 keluarga di Kampung Lorong Buangkok.

Sebaliknya, menyewa kamar yang ukurannya sekitar sepersepuluh dari rumah di kampung ini di blok bangunan pemerintah terdekat bisa memakan biaya sekitar 20 kali lipat dari harga tersebut. Selain itu, rumah-rumah di seberang kanal dapat dijual hingga beberapa juta dolar Singapura. Meskipun kampung ini merupakan perumahan paling terjangkau di Singapura, tidak ada penduduk baru yang pindah sejak tahun 1990-an, dan kecil kemungkinan ada penduduk baru dalam waktu dekat. Yap menjelaskan bahwa biasanya seseorang harus pindah atau meninggal agar sebuah rumah tersedia, dan hanya mereka yang memiliki hubungan dengan penyewa sebelumnya atau keluarga Sng yang bisa dipertimbangkan sebagai penghuni baru.

 

Interaksi Kampung Lorong Buangkok

Dibangun Pada Tahun 1960-an, Surau Al-Firdaus Lorong Buangkok Terletak di Kampung Lorong Buangkok. Sumber: https://www.roots.gov.sg/places/places-landing/Places/surveyed-sites/Surau-Al-Firdaus-Lorong-Buangkok

Sng Mui Hong menyewakan petak-petak tanah kepada 25 keluarga, 13 di antaranya adalah orang Melayu dan 12 adalah orang Tionghoa. Di tengah interaksi komunal yang hangat di kampung ini, didirikan Surau Al-Firdaus sebagai tempat umat muslim berdoa, menunjukkan toleransi dan kerjasama antarwarga yang beragam budaya dan agama. Keberadaan Surau Al-Firdaus menjadi salah satu aspek keistimewaan tinggal di kampung ini, yang memperkaya pengalaman hidup bersama dan memperkuat ikatan sosial di antara penduduk kampung.

 

Penutup

Dalam pembangunan wilayah, konflik sering terjadi antara kepentingan untuk pelestarian warisan budaya dan pertumbuhan ekonomi wilayah. Kampung Lorong Buangkok merupakan contoh warisan budaya yang menjadi inspirasi bagi penataan kota di Singapura. Karakteristik kampung yang komunal menjadi salah satu kunci kenyamanan penduduk tinggal di suatu tempat. Penambahan ruang-ruang komunal kemudian menjadi satu aspek penataan kota, yang diterapkan dengan baik di Singapura. Salah satu sumber inspirasinya adalah Kampung Lorong Buangkok.  (EBH)

 

Referensi

CUGE. 2011. Park and Greenery Planning in Singapore [Unpublished]. Singapore: National Parks.

Diah, F. 2021. Diakses dari https://travel.detik.com/international-destination/d-5585954/lorong-buangkok-kampung-terakhir-di-singapura/1  pada tanggal 10 Mei 2024.

Kampung Tradisional Terakhir di Singapura Yang Masih Bertahan. Diakses dari https://kumparan.com/kumparantravel/kampung-tradisional-terakhir-di-singapura-yang-masih-bertahan-1541818205022237687/full pada tanggal 10 Mei 2024.

Komarudin. 2022. Mengenal Lorong Buangkok Kampung Terakhir di Singapura. Diakses dari https://www.liputan6.com/lifestyle/read/4935982/mengenal-lorong-buangkok-kampung-terakhir-di-singapura pada tanggal 8 Mei 2024.

Oktaliani, K. 2023. Kampung Lorong Buangkok, Desa Terakhir yang Tersisa di Singapura Suasananya Mirip di Indonesia. Diakses dari https://www.inews.id/travel/destinasi/kampung-lorong-buangkok-desa-terakhir-yang-tersisa-di-singapura-suasananya-mirip-di-indonesia#:~:text=Tahukah%20Anda%20di%20tengah%2Dtengah,dengan%20nama%20Kampung%20Lorong%20Buangkok pada tanggal 8 Mei 2024.

Setiowati, R., Hasibuan, H.S., Koestoer, R.H., Harmain, R. 2019. Planning for Urban Green Area and Its Importance for Sustainability: The Case of Jakarta. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science, 328, 012027

Sudrajat, I. 2023. Kampung Terakhir di Singapura Mencoba Bertahan di Tengah Modernisme. Diakses dari https://koran-jakarta.com/kampung-terakhir-di-singapura-mencoba-bertahan-di-tengah-modernisme?page=all pada tanggal 8 Mei 2024.

Yow, Samantha H. 2021. Kampung Terakhir di Singapura: Mencoba bertahan di tengah pembangunan kota yang masif. Diakses dari https://www.bbc.com/indonesia/vert-tra-57266427 pada tanggal 7 Mei 2024.