Kota-kota modern seringkali dihiasi dengan landmark dan ruang publik mencolok yang viral di media sosial. Namun, di balik tren ini, terdapat kekhawatiran: landmark yang mengabaikan sejarah dan kebutuhan lokal masyarakat, akhirnya menjadi norak dan monoton.
Pembangunan landmark sering didorong oleh ambisi untuk menarik wisatawan, memperindah kota, atau menciptakan citra modernitas. Namun, proses ini sering mengabaikan kebutuhan dan identitas lokal. Di Indonesia, banyak kota lebih memilih membangun landmark megah seperti patung daripada ruang publik terbuka hijau (RTH). Data Kementerian PUPR (2019) menunjukkan bahwa RTH baru terdapat di 13 kota dari 174 kota yang mengikuti Program Kota Hijau. Padahal, Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang mengatur proporsi RTH di setiap kota paling sedikit 30% dari luas wilayah. Capaian ini jelas minim, padahal ruang publik hijau merupakan kebutuhan besar bagi masyarakat Indonesia.
Contoh mencolok adalah Patung Merlion di Kota Bontang, Kalimantan Timur, tiruan dari patung ikonik di Singapura. Diresmikan tahun 2014, patung ini diharapkan menjadi daya tarik wisata baru bagi Kota Bontang, namun menimbulkan masalah, yakni kurangnya orisinalitas. Masyarakat merasa patung tersebut tidak memiliki identitas lokal dan hanya meniru ikon negara lain tanpa menambahkan nilai budaya atau sejarah lokal. Seiring waktu, patung ini mengalami kerusakan akibat kurangnya pemeliharaan. Bagian-bagian patung retak dan tampak kotor, mengurangi daya tariknya. Awalnya menarik perhatian, patung ini kemudian sepi pengunjung karena tidak ada fasilitas pendukung di sekitarnya.
Meskipun mendapat banyak like di media sosial, landmark kota semacam itu sering kehilangan esensi dan makna yang seharusnya dimiliki oleh ruang publik. Masyarakat setempat mungkin merasa asing dengan replika tersebut dan tidak memiliki kedekatan emosional atau historis. Dalam upaya meniru gaya arsitektur dari kota lain yang dianggap “modern,” banyak kota kehilangan keunikan dan kekayaan budaya mereka. Ini bukan hanya kerugian estetika, tetapi juga kehilangan warisan budaya yang berharga.
Sebaliknya, pembangunan landmark yang berakar pada kebutuhan lokal dapat memperkaya identitas kota. Pembuat kebijakan harus memperhatikan aspirasi masyarakat dalam proses perencanaan dan pembangunan ruang publik. Melibatkan masyarakat dalam setiap tahap pembangunan membuat landmark dan ruang publik, akan mencerminkan kekayaan budaya dan kebutuhan nyata masyarakat setempat. Taman Menteng adalah contoh sukses di Indonesia, di mana partisipasi masyarakat menghasilkan fasilitas yang digunakan untuk berbagai kegiatan komunitas dan juga melibatkan mereka dalam pemeliharaan taman.
Membangun kota bukan hanya tentang estetika dan viralitas. Mahditia Paramita menjelaskan bahwa membangun kota berarti menciptakan ruang yang bermakna, fungsional, dan mencerminkan identitas lokal (Paramita, 2023). Pendidikan perencanaan dan perancangan di Indonesia belum mampu menyelesaikan masalah perkotaan dan mempraktikan ide-ide inovatif. Ketidakcakapan dalam membangun kota merupakan masalah serius yang harus segera diatasi.
Pendekatan kolaboratif antara pemerintah, pengembang dan masyarakat dapat menciptakan ruang publik yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Dengan memanfaatkan pengetahuan lokal dan menghargai warisan budaya, pembangunan landmark dapat memperkuat identitas kota dan mempromosikan keragaman budaya. Keberhasilan ruang publik diukur dari seberapa dalam kebutuhan dan identitas lokal yang direfleksikannya, bukan hanya dari seberapa spektakuler atau viralnya. Pendekatan holistik dan berkelanjutan membuat landmark dan ruang publik benar-benar berarti bagi masyarakat dan memperkaya kehidupan kota. (TMa)
Referensi:
Paramita, M. (2023). Strategi Membangun Kota. Yogyakarta: Yayasan Caritra Indonesia.
Jaelani, J. (2023). Ruang Kota yang Hit dan Kitsch. Bandung Bergerak. Diakses pada tanggal 13 Mei 2024 melalui https://bandungbergerak.id/article/detail/159257/ruang-kota-yang-hit-dan-kitsch
Defitri, M. (2023). Kondisi Ruang Terbuka Hijau di Indonesia. Waste 4 Change. Diakses pada tanggal 13 Mei 2024 melalui https://waste4change.com/blog/kondisi-ruang-terbuka-hijau-di-indonesia/
Istanto, H.F. (2021). Patung Merlion di Mana-Mana, Trend atau Selera. Harian Dis Way. Hal.14-15. Diakses pada tanggal 18 Mei 2024 melalui https://www.ciputra.ac.id/library/patung-merlion-di-mana-mana-trend-atau-selera-harian-dis-way-7-februari-2021-hal-14-15-freddy-h-istanto-ina/
Henuhili, R., dkk. (2021). Studi Kasus: Taman Menteng, Jakarta Pusat. Jurnal Stupa. Diakses pada tanggal18 Mei 2024 melalui https://www.researchgate.net/publication/358670767_STUDI_KASUS_TAMAN_MENTENG_JAKARTA_PUSAT