Urbanisasi adalah fenomena kompleks yang melibatkan berbagai proses perubahan saling terkait dalam berbagai aspek makro, termasuk pertumbuhan dan perubahan demografi, ekonomi, teknologi, sosial, politik, budaya, dan lingkungan (Knox dan McCarthy, 2014). Kota tidak hanya memiliki potensi untuk meningkatkan perkembangan dan pertumbuhan secara internal di dalam wilayahnya, tetapi juga memiliki beragam potensi untuk meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan ke luar batas wilayahnya (Fan, 2013). Sebagai dampaknya, kota-kota tersebut akan menjadi magnet bagi penduduk untuk berdatangan mencari pekerjaan dan bertempat tinggal.
Urbanisasi di Provinsi Jawa Tengah telah menjadi fenomena yang signifikan dalam beberapa dekade terakhir. Provinsi yang beribukota di Kota Semarang ini mengalami pertumbuhan penduduk dan urbanisasi yang cepat. Faktor utama dibalik urbanisasi ini termasuk pertumbuhan ekonomi, kesempatan kerja, serta akses kesehatan dan pendidikan yang lebih baik. Kota-kota besar seperti Semarang dan Surakarta (Solo) telah menjadi daya tarik bagi penduduk dari daerah pedesaan dan kota-kota kecil di Provinsi Jawa Tengah.
Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi kedua setelah Provinsi Jawa Barat. Berdasarkan data yang diperoleh dari BPS Pusat, jumlah penduduk Provinsi Jawa Tengah pada tahun 2022 sebanyak 37.032.410 jiwa, yang mana terus mengalami peningkatan angka dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Namun urbanisasi ini menimbulkan berbagai macam masalah karena tidak ada pengendalian di dalamnya. Tingkat urbanisasi yang cukup tinggi di kota besar mengakibatkan perkembangan kota menjalar ke kota-kota kecil di sekitarnya (peri urban).
Kota Semarang, sebagai ibu kota Provinsi Jawa Tengah, tidak luput dari dampak urbanisasi yang signifikan. Salah satu dampaknya adalah tingginya jumlah penduduk di Kota Semarang. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik, pada tahun 2020 jumlah penduduk di Kota Semarang mencapai 1.653.524 jiwa, mengalami kenaikan pada tahun 2021 menjadi 1.656.564 jiwa, dan pada tahun 2022 menjadi 1.659.975 jiwa.
Jumlah penduduk ini tidak diimbangi dengan luas wilayah yang ada, sehingga menyebabkan kepadatan penduduk yang tinggi. Pada tahun 2020 kepadatan penduduk di Kota Semarang mencapai angka 4.423,79 jiwa/km2. Angka tersebut meningkat pada tahun 2021 menjadi 4.431,92 jiwa/km2, dan meningkat lagi pada tahun 2022 menjadi 4.441,05 jiwa/km2. Jumlah penduduk yang semakin bertambah setiap tahunnya menyebabkan permintaan akan lahan semakin meningkat, sehingga harga lahan semakin mahal. Masyarakat yang tidak mampu secara ekonomi untuk mendapatkan lahan akhirnya mencari alternatif lain.
Salah satu cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan lahan dengan harga murah adalah lingkungan permukiman padat yang tidak layak huni. Namun, hal ini mengakibatkan turunnya kualitas permukiman, atau biasa disebut Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dan membawa dampak buruk terhadap kondisi lingkungan. Berdasarkan data yang diperoleh dari buku Data Bidang Perumahan, Kawasan Permukiman dan. Pertanahan (PKPP) Provinsi Jawa Tengah Tahun 2022, total eksisting Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) tahun 2022 adalah sejumlah 1.486.642 unit.
Melihat adanya tantangan terkait dampak urbanisasi yang masih menjadi isu krusial di Provinsi Jawa Tengah, perlu adanya upaya serius dari pemerintah dan berbagai pihak terkait untuk meningkatkan kondisi sarana dan prasarana di wilayah tersebut guna memperbaiki kualitas hidup masyarakat, mengurangi pemukiman kumuh, kepadatan penduduk serta mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif bagi seluruh penduduk di wilayah ini. Dengan demikian, upaya-upaya tersebut diharapkan akan membawa dampak positif bagi pembangunan dan kesejahteraan masyarakat Provinsi Jawa Tengah di masa mendatang. (GSR)
Daftar Pustaka
Adam, F. P. (2010). Tren urbanisasi di indonesia. Piramida, 6(1), 1-15.
Knox, P., Agnew, J., & McCarthy, L. (2014). The geography of the world economy. Routledge.
Fan, P., Chen, J., & John, R. (2016). Urbanization and environmental change during the economic transition on the Mongolian Plateau: Hohhot and Ulaanbaatar. Environmental research, 144, 96-112.
Pranadji, T. (2006). Pengembangan Daerah Penyangga Sebagai Upaya Pengendalian Arus Urbanisasi. Analisis Kebijakan Pertanian, 4(4), 328-342.
Kurniati, S. A., Rahayu, P., & Istanabi, T. (2022). Peri-Urbanisasi dan Dinamika Perkembangan Kawasan Perkotaan Sekunder (Studi Kasus: Bosukawonosraten). Desa-Kota: Jurnal Perencanaan Wilayah, Kota, dan Permukiman, 4(2), 167-180.
Mardiansjah, F. H., & Rahayu, P. (2019). Urbanisasi dan pertumbuhan kota-kota di Indonesia: Suatu perbandingan antar-wilayah makro Indonesia. Jurnal Pengembangan Kota, 7(1), 91-110.
Prawatya, N. A. (2013). Perkembangan spasial kota-kota kecil di Jawa Tengah. Jurnal Wilayah dan Lingkungan, 1(1), 17-32.
Bunga, R. N. (2023). Permukiman Kumuh di Kota Semarang Akibat Tingkat Urbanisasi yang Tinggi. Diakses 2 April 2024 dari, https://news.detik.com/berita/caramenulisdaftarpustakadariinternetbesertacontohnya
Monavia, A. R. (2021). Sebanyak 56,7% Penduduk Indonesia Tinggal di Perkotaan pada 2020. Diakses 2 April 2024 dari, https://databoks.katadata.co.id/
Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman. 2022. Buku Data Bidang Perumahan, Kawasan Permukiman dan. Pertanahan Tahun 2022, Provinsi Jawa Tengah. 96 hal.
https://ppid.disperakim.jatengprov.go.id/
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, data Jumlah Penduduk Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah 2020: Badan Pusat Statistik
Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Tengah, data Kepadatan Penduduk (Jiwa/km2), 2020-2022 Menurut Kabupaten/Kota di Jawa Tengah 2020-2022: Badan Pusat Statistik