Yogyakarta, kota pelajar dan pariwisata yang kaya akan budaya, kini tengah menghadapi ancaman serius akibat gentrifikasi yang semakin meluas. Bukan sekadar perubahan wajah kota, gentrifikasi di Yogyakarta mengancam identitas lokal dan kesejahteraan masyarakat yang telah hidup bergenerasi-generasi di sini. Proses pergeseran penggunaan lahan yang cepat, didorong oleh pesatnya industri pariwisata, telah menyebabkan kenaikan harga properti yang drastis, perubahan struktur sosial, dan hilangnya ruang publik yang autentik. Apa yang membuat gentrifikasi di Yogyakarta begitu mendesak adalah skala dan kecepatan perubahan yang terjadi.

Berbeda dengan kota-kota lain, gentrifikasi di Yogyakarta dipicu oleh sektor pariwisata yang berkembang pesat, terutama setelah otonomi daerah diberlakukan. Jalan-jalan utama yang dulu dihiasi oleh rumah-rumah tradisional dan warung makan sederhana kini berganti wajah menjadi deretan hotel, kafe modern, dan pusat perbelanjaan. Keberadaan tempat-tempat baru tersebut memang membawa angin segar bagi pariwisata dan ekonomi, tetapi juga menimbulkan masalah bagi penduduk asli yang terdesak oleh tingginya biaya hidup. Fenomena inilah yang mendorong perlunya pemahaman lebih mendalam tentang gentrifikasi di Yogyakarta.

Gentrifikasi terjadi ketika lahan yang awalnya digunakan oleh masyarakat berpenghasilan rendah berubah menjadi lahan untuk masyarakat berpenghasilan tinggi atau untuk kepentingan komersial. Gentrifikasi membuat masyarakat berpenghasilan rendah tidak lagi mampu tinggal di sana karena harga lahan, pajak, dan biaya hidup yang naik. Selain itu, gentrifikasi mengakibatkan perubahan dalam struktur sosial penduduk, penampilan fisik lingkungan, munculnya lapangan pekerjaan baru, serta potensi konflik antara warga asli dan pendatang.

Gentrifikasi umumnya disebabkan oleh kapitalisme pasar yang memanfaatkan lahan perkotaan. Ketika suatu kawasan mengalami rehabilitasi, revitalisasi, atau peremajaan, harga lahannya naik sehingga masyarakat asli terancam terusir. Kebijakan pemerintah yang melihat gentrifikasi sebagai cara untuk meningkatkan nilai ruang, investasi, dan pendapatan pajak juga turut mempengaruhi proses tersebut.

Di Kota Yogyakarta, gentrifikasi terjadi dalam bentuk gentrifikasi pariwisata. Berbeda dengan gentrifikasi biasa, perubahan lahan di Kota Yogyakarta berlangsung cepat karena dorongan akomodasi wisata di sekitarnya, seperti pembangunan hotel-hotel baru di Malioboro. Sektor pariwisata yang menjanjikan mendorong pemerintah untuk secara tidak langsung mengizinkan gentrifikasi pariwisata, terutama setelah otonomi daerah. Upaya pemerintah kota untuk mendorong pertumbuhan pariwisata dan investasi mengubah lahan permukiman menjadi akomodasi wisata dan memicu penggusuran, baik secara paksa maupun sukarela.

Penelitian yang dilakukan oleh BEM KM UGM pada tahun 2022 menunjukkan bahwa gentrifikasi nyata terjadi di Yogyakarta melalui lima dampak. Pertama, yaitu kenaikan harga tanah. Harga tanah di Kota Yogyakarta terbagi dalam empat tingkatan, dengan dominasi harga tanah antara 2.000.000-5.000.000 rupiah per meter persegi. Namun, di jalan-jalan utama dan sekitar area pariwisata, harga tanah menjadi jauh lebih tinggi, berkisar antara 5.000.000-20.000.000 rupiah per meter persegi hingga lebih dari 50.000.000 rupiah per meter persegi. Hal tersebut menunjukkan bahwa pembeli lahan, yang umumnya berasal dari luar kota dan memiliki daya beli lebih tinggi, membeli lahan untuk membangun fasilitas akomodasi wisata dan perdagangan.

Peta Harga Tanah Kota Yogyakarta Tahun 2022. Sumber: BEM KM UGM (2022)

Dampak kedua gentrifikasi adalah tingginya angka urbanisasi. Urbanisasi terlihat dari tingginya jumlah imigran yang masuk ke kota, yang ditandai dengan angka migrasi masuk. Migrasi tersebut dipicu oleh aktivitas ekonomi di sektor pariwisata yang menarik banyak pendatang. Tingginya migrasi masuk menyebabkan perkembangan sektor informal yang pesat di pinggiran kota. Sektor informal tersebut berkaitan dengan pekerjaan di sektor pariwisata dan penunjangnya. Mereka yang bermigrasi cenderung memiliki ekonomi yang lebih baik dibandingkan warga asli, sehingga memicu urbanisasi yang berujung pada gentrifikasi.

 

Peta Migrasi Kota Yogyakarta Tahun 2022. Sumber: BEM KM UGM (2022)

Dampak ketiga gentrifikasi adalah perubahan guna lahan kota. Perbandingan penggunaan lahan di Kota Yogyakarta antara tahun 2020 dan 1996 menunjukkan perubahan signifikan. Di area tertentu, penggunaan lahan yang sebelumnya didominasi permukiman kini beralih menjadi lahan pariwisata, jasa, dan budaya. Hal tersebut mengarah pada ciri-ciri gentrifikasi di mana permukiman warga dialihkan menjadi daerah wisata atau hotel besar, sehingga warga terpaksa harus pindah.

 

Peta Penggunaan Lahan di Kota Yogyakarta Tahun 1996. Sumber: MPKD UGM (1996)

 

Peta Penggunaan Lahan di Kota Yogyakarta Tahun 2022. Sumber: BEM KM UGM (2022)

Dampak keempat gentrifikasi adalah perubahan struktur ruang kota dan infrastruktur kota. Gentrifikasi sering terjadi di kawasan pusat kota dan berhubungan dengan pariwisata, seperti di Kota Yogyakarta. Pemerintah secara tidak langsung mempermudah terjadinya gentrifikasi pariwisata melalui kemudahan perizinan dan penyediaan infrastruktur pariwisata dan penunjangnya, seperti pembangunan hotel, revitalisasi kawasan wisata seperti Malioboro, pembangunan yang berorientasi pada pejalan kaki, penataan pedagang kaki lima, revitalisasi taman dan ruang terbuka hijau lainnya, serta penyusunan rencana induk pariwisata.

 

Peta Sebaran Akomodasi Pariwisata Kota Yogyakarta Tahun 2022. Sumber: BEM KM UGM (2022)

Dampak kelima gentrifikasi adalah perubahan struktur sosial dan wajah fisik kota. Gentrifikasi mendorong investor masuk ke Kota Yogyakarta. Modal dan kekuasaan yang mereka miliki, terutama dengan dukungan pemerintah, membuat masyarakat lokal asli terusir dari lahan mereka. Keberadaan pariwisata juga menarik lebih banyak pendatang, terutama wisatawan dan pelaku bisnis pariwisata. Banyaknya pendatang mendorong terbentuknya sarana dan fasilitas baru untuk memenuhi kebutuhan mereka, yang kemudian meningkatkan harga aset di sekitar kota.

 

Ilustrasi Perubahan Struktur Sosial dan Wajah Fisik Kota. Sumber: Medium

Serangkaian dampak tersebut menunjukkan bahwa gentrifikasi nyata terjadi dan telah mengubah wajah Kota Yogyakarta, terutama di sekitar kawasan wisata. Hal tersebut terlihat dari lima dampak: harga tanah, urbanisasi, penggunaan lahan, struktur ruang dan infrastruktur kota, serta struktur sosial dan wajah fisik kota. Dampak gentrifikasi di Kota Yogyakarta dirasakan oleh pelaku usaha, pemerintah, dan masyarakat asli, baik dampak positif maupun negatif. Sebagai tindak lanjut, diperlukan kajian lebih lanjut mengenai bagaimana pemerintah mengakomodasi kepentingan masyarakat asli yang semakin terpinggirkan akibat fenomena tersebut, terutama dalam tahap perencanaan kota. (YHC)

 

Referensi
Amrozi, I., Sultansyah, DRP., Hidayat, AMNA., Savirani, A. (2021). Kelompok Milenial dan Tantangan Pembangunan Kota: Gentrifikasi dan Komersialisasi Ruang di Kota Yogyakarta. Jurnal Studi Pemuda, 10(2), hal. 115–130. DOI: 10.22146/studipemudaugm.69230

Badan Eksekutif Mahasiswa Keluarga Mahasiswa Universitas Gadjah Mada. (2022). Meninjau Proses Gentrifikasi di Kota Yogyakarta. https://www.instagram.com/p/Ce_IynpM_UJ/?img_index=1.

Medha, AN., Ariastita, PG. (2017). Pandangan terhadap Fenomena Gentrifikasi dan Hubungannya dengan Perencanaan Spasial. Jurnal Teknik ITS, 6(2), hal. 1–4. DOI: 10.12962/j23373539.v6i2.25056

Widianto, HW., Keban, YT. (2020). Gentrifikasi: Dampak Sosial-Ekonomi Pembangunan Hotel di Malioboro Kota Yogyakarta. Jurnal Penelitian Kesejahteraan Sosial, 19(2), hal. 107–123. DOI: 10.31105/jpks.v19i2.1937