Permasalahan perumahan menjadi topik yang selalu relevan dan menarik untuk dibahas, terutama dalam konteks generasi muda yang kini mendominasi populasi Indonesia. Dalam Roadshow Forum PKP DIY Edisi Ke-5 yang diadakan di Universitas Kristen Duta Wacana, para narasumber mengupas tuntas tentang preferensi, tantangan, serta karakteristik Gen Z dalam hal perumahan dan tempat tinggal.

Sebelum masuk ke dalam diskusi, Caritra Indonesia memaparkan beberapa fakta menarik yang menjadi latar belakang penting untuk memahami permasalahan perumahan bagi Gen Z. Dengan populasi mencapai 73 juta jiwa, rata-rata pendapatan bulanan Gen Z masih berada di bawah Rp2,5 juta, dan sekitar 9,9 juta dari mereka yang berusia 15-24 tahun tidak bekerja, tidak bersekolah, dan tidak mengikuti pelatihan apapun (BPS, 2023). Survei menunjukkan bahwa 36% dari generasi ini merasa belum siap secara finansial, dan hanya 44,04% yang memiliki literasi keuangan yang memadai (OJK, 2024). Selain itu, budaya menabung juga masih rendah, dengan rasio tabungan terhadap PDB Indonesia hanya sekitar 31%, jauh di bawah negara-negara tetangga seperti Singapura dan Filipina. Akibatnya, memiliki rumah bukanlah prioritas utama bagi sebagian besar Gen Z, dengan 22% di antaranya lebih memilih untuk menyewa. Kendala utama seperti kenaikan harga (inflasi), ketidaksesuaian harga kebutuhan dengan upah minimum, serta akses yang terbatas terhadap layanan keuangan semakin memperburuk situasi ini.

Diskusi diawali oleh pemaparan narasumber pertama, Dr. Imelda Irmawati Damanik, S. T., M.A(UD). atau yang disapa oleh Ibu Imel, memulai diskusi dengan menjelaskan pembagian generasi di Indonesia, yang terdiri dari Baby Boomers, Generasi X, Milenial, hingga Generasi Z dan Generasi Alfa. Fokus utama dalam diskusi ini adalah Generasi Z, yang saat ini berada pada rentang usia 12-27 tahun. Mereka adalah kelompok yang dinamis, melek teknologi, dan memiliki mobilitas yang tinggi, bahkan di tengah pandemi. Gen Z, khususnya yang berusia 18-27 tahun, mulai masuk ke dunia kerja dan memiliki keinginan kuat untuk mencapai kestabilan karier, pendidikan, serta hunian.

Ketertarikan Gen Z terhadap isu-isu sosial, seperti ketidaksetaraan, kesehatan mental, dan hak asasi manusia, menjadi sorotan. Survei menunjukkan bahwa 51% dari generasi ini pernah mengalami masalah kesehatan mental. Gen Z memiliki preferensi dalam memilih hunian yang tidak hanya nyaman, tetapi juga aman dan mendukung kesejahteraan mental. Dari segi tempat tinggal, Gen Z cenderung menginginkan rumah yang luasnya antara 60-100 meter persegi dengan harga di bawah 400 juta rupiah, serta memiliki konsep green atau smart living. Keamanan dan respons terhadap bencana juga menjadi faktor penting bagi mereka.

Di sisi lain, Dr.-Ing. Ir. Paulus Bawole, MIP., sebagai narasumber kedua menyoroti bahwa Gen Z adalah generasi yang tidak pernah mengenal kehidupan tanpa internet. Mereka cenderung progresif secara sosial dan politik, serta sangat menghargai keberagaman dan inklusivitas. Namun, tantangan besar seperti kesehatan mental masih membayangi, dengan sekitar 52% dari Gen Z pernah didiagnosis atau menjalani perawatan untuk gangguan mental.

Preferensi Gen Z terhadap konsep hunian lebih kompleks. Mereka menyukai co-living, mixed-use building, dan konsep smart city yang memungkinkan mereka mengakses berbagai kebutuhan dalam satu area. Di Yogyakarta, kota tempat forum ini diadakan, Gen Z mendominasi populasi perkotaan, tetapi banyak dari mereka yang masih berada di kelompok marjinal. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua Gen Z memiliki akses yang sama terhadap hunian layak.

Dr.-Ing. Ir. Paulus Bawole, MIP., juga menyoroti bahwa kondisi perumahan di DIY masih menghadapi tantangan besar. Sekitar 66,8% rumah tangga di DIY memenuhi kriteria layak huni, namun masih ada 33,2% yang belum memenuhi standar tersebut. Di kawasan padat seperti Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul, program penataan kawasan kumuh masih menjadi prioritas. Gen Z yang tinggal di wilayah tersebut perlu memanfaatkan fasilitas yang telah disediakan untuk menciptakan kondisi kehidupan yang lebih baik lagi.

Forum ini menegaskan bahwa intervensi kebijakan yang tepat dan program-program hunian yang inklusif sangat dibutuhkan untuk memastikan Gen Z, terutama yang berpenghasilan rendah, dapat memiliki akses yang sama terhadap hunian layak. Dengan karakteristiknya yang melek teknologi, seharusnya Gen Z bisa menjadi motor penggerak dalam menciptakan inovasi, bahkan di tengah keterbatasan ruang.

Secara keseluruhan, Forum PKP DIY Edisi Ke-5 berhasil memetakan preferensi dan tantangan hunian bagi Gen Z, serta memberikan wawasan berharga tentang bagaimana generasi muda ini memandang hunian sebagai bagian dari gaya hidup mereka yang modern, berkelanjutan, dan inklusif. (HPS)