Krisis perumahan di Indonesia saat ini semakin mendesak dan kompleks, terutama bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR). Pada tahun 2023, kebutuhan rumah mencapai 9,9 juta unit dan diproyeksikan meningkat menjadi 14 juta unit pada tahun 2045 (Survei Sosial Ekonomi Nasional, 2023). Namun, realisasi perumahan belum sejalan dengan kebutuhan, terlihat dari 37% pengaduan terkait perumahan yang melibatkan pembangunan oleh pengembang (Badan Perlindungan Konsumen Nasional, 2017-2023), serta rumah subsidi yang tidak efektif dengan tingkat kekosongan mencapai 60-80% (Kementerian PUPR, 2024). Lebih dari sepertiga penduduk perkotaan (34,53%) dan hampir setengah penduduk perdesaan (40,09%) tinggal di rumah tidak layak huni (Badan Pusat Statistik, 2023). Kontribusi pemerintah dalam menyediakan perumahan juga masih tergolong kecil, dengan 61% kebutuhan dipenuhi oleh sektor swasta dan masyarakat secara swadaya.
Dalam rangka membahas krisis perumahan ini, Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 25 September 2024, menggelar kuliah tamu yang menghadirkan Dr. Ir. Mahditia Paramita, M.Sc., Direktur Eksekutif Caritra Indonesia. Kuliah yang berlangsung di gedung Smart and Green Learning Center (SGLC) Fakultas Teknik ini menyoroti tantangan perumahan di Indonesia, khususnya terkait MBR, dan menjadi platform penting dalam mencari solusi untuk mengatasi kesenjangan perumahan yang semakin akut.
Dalam pemaparannya, Dr. Ir. Mahditia Paramita, M. Sc. atau yang lebih akrab disapa Bu Tia menjelaskan bahwa alokasi anggaran untuk rumah milik melonjak signifikan, hingga 7 kali lipat dari tahun 2021 hingga 2023, mencapai 23,06 triliun. Di sisi lain, masih banyak lapisan masyarakat yang membutuhkan penyediaan rumah, baik dalam bentuk social housing ataupun public housing. Bu Tia menyoroti bahwa peran pemerintah sangat penting sebagai penyedia kebutuhan hunian, tetapi kontribusi pemerintah saat ini masih tergolong kecil. Sebanyak 61% dari kebutuhan rumah masih dipenuhi oleh swasta atau masyarakat melalui pembangunan swadaya. Dalam paparannya, beliau menegaskan bahwa hunian bukan hanya urusan privat, tetapi merupakan urusan publik yang membutuhkan intervensi, agar setiap kelompok masyarakat dapat mengakses pasar perumahan. Oleh karena itu, peran pemerintah sebagai penyedia harus diperkuat, terutama mengingat proyeksi kebutuhan rumah hingga tahun 2045 yang diperkirakan mencapai lebih dari 14 juta unit.
Lebih lanjut, program-program terkait perumahan dan permukiman dari pemerintah yang sudah diimplementasikan masih cenderung berfokus pada pemanfaatan dan intervensi terhadap lahan kosong. Padahal, terdapat potensi besar dari bentuk hunian lain, seperti rumah kosong, apartemen, dan rumah susun, serta kos-kosan, yang dapat dioptimalkan sebagai solusi alternatif dalam penyediaan perumahan. Pendekatan ini akan mendukung pemenuhan kebutuhan hunian dengan basis kepenghunian. Selain itu, Bu Tia juga menjelaskan salah satu upaya kebijakan utama yang diarahkan untuk mengatasi krisis perumahan adalah penyusunan Rencana Pembangunan dan Pengembangan Perumahan dan Kawasan Permukiman (RP3KP). Sejak tahun 2010, Caritra Indonesia telah berkontribusi dalam penyusunan 20 RP3KP di 4 provinsi dan 9 kabupaten/kota, namun masih ada 18% provinsi dan 18% kabupaten/kota yang belum menganggarkan program RP3KP ini, sehingga upaya tersebut perlu terus didorong.
Tak hanya itu, Caritra Indonesia kembali berkontribusi dalam klinik rumah sehat, yakni layanan informasi dan bantuan teknis mengenai pembangunan rumah layak yang sehat agar semakin banyak masyarakat yang menghuni rumah sehat. Pengembangan ini bekerjasama dengan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dalam pelaksanaannya. Program yang diusung oleh Caritra Indonesia diharapkan meningkatkan pemahaman masyarakat terkait hunian yang layak, mempercepat penyediaan hunian yang layak sebagai solusi housing crisis. Salah satu studi kasusnya merupakan pendampingan kawasan permukiman Sungai Code yang dalam prosesnya kemudian menghasilkan rencana kegiatan penataan Code. Pendampingan ini telah berjalan sejak tahun 2008 hingga saat ini, tahun 2024. Dalam masterplan penataannya juga dimuat penataan permukiman, termasuk usulan lokasi rusun, hingga rencana peningkatan kesejahteraan masyarakat berbasis wisata.

Sesi Tanya Jawab dan Diskusi Seputar Housing Crisis in Indonesia
Setelah memaparkan berbagai langkah dan kebijakan, sesi dilanjutkan dengan diskusi dan tanya jawab untuk menggali lebih dalam isu dan solusi terkait krisis perumahan ini. Dalam sesi diskusi yang berlangsung interaktif, Bu Tia menjawab berbagai pertanyaan dari mahasiswa terkait.
- Intervensi perumahan apa yang dapat dilakukan untuk kelompok berpenghasilan atas dan menengah?
Setiap kelompok masyarakat butuh intervensi berbeda. Untuk masyarakat berpenghasilan atas, mereka umumnya mampu membayar, tapi penting menentukan apa yang harus dibayar. Misalnya, menyediakan daftar opsi hunian seperti kos-kosan atau perumahan publik yang bisa dibeli atau disewa, seperti iklan-iklan perumahan. Intervensi yang tepat adalah menyediakan layanan informasi yang mudah diakses, seperti hotline atau platform digital, agar mereka mudah mendapatkan informasi hunian yang sesuai kebutuhan.
- Bagaimana mengatasi hambatan ketika harus memindahkan banyak barang dari rumah tunggal organik ke rumah deret? Apakah barang-barang tersebut akan muat di rumah deret?
Sejak awal program, rumah deret didesain sebagai tempat tinggal sederhana, namun dilengkapi dengan gudang bersama untuk menampung barang-barang. Saat proses identifikasi melalui workshop, kebutuhan masyarakat juga diidentifikasi, termasuk ruang penyimpanan. Pemerintah setempat kemudian diminta untuk menerbitkan surat keputusan yang mendukung penyediaan fasilitas yang diperlukan.
- Iuran Tapera yang mengambil 3% dari gaji karyawan untuk penyediaan rumah, apakah hal ini mendesak untuk dilakukan atau tidak menjadi prioritas saat ini?
Indonesia memang memiliki konsep Tapera yang menarik persentase dari gaji karyawan untuk penyediaan rumah, namun banyak yang merasa keberatan. Idealnya, program perumahan di Indonesia tidak hanya bergantung pada Tapera, tetapi juga mencakup skema lain seperti FLPP dan BSPS. Indonesia butuh lebih dari sekadar Tapera, misalnya program khusus untuk pasangan muda, pekerja, atau pedagang kaki lima (PKL). Hal ini penting karena banyak kelompok masyarakat yang belum terlayani dengan baik, sehingga membuat akses perumahan semakin sulit.
- Terkait bantaran sungai yang perlahan-lahan mundur, bagaimana dengan lokasi rumah di kawasan Code yang terletak di tengah kota dengan harga lahan yang tinggi? Meskipun ada lahan pemerintah, bagaimana dengan lahan swasta? Bukankah itu akan lebih sulit, terutama mengingat ketidakpastian harga lahan di daerah ini?
Lokasi rumah di kawasan Code memang strategis, namun harga lahan di daerah ini sangat tinggi. Meskipun ada lahan milik pemerintah, banyak juga tanah swasta yang statusnya kurang jelas. Untuk tanah yang digunakan secara ilegal, penting untuk mengetahui apakah tanah tersebut milik atau disewa, serta berapa lama mereka tinggal di sana. Saat workshop, kami memetakan tanah dan menemukan bahwa untuk tanah milik, ada harga acuan yang diberikan oleh bank sebagai perbandingan. Proposal kami tidak menghilangkan hak atas tanah, melainkan mempertimbangkan desain harga konstruksi yang bisa mencakup sumbangan untuk membantu masyarakat yang membutuhkan.
- Bagaimana cara meminimalkan gesekan sosial saat menggusur rumah, dan apakah Indonesia bisa meniru model public housing seperti yang diterapkan di Singapura?
Mengenai model public housing Singapura, Indonesia memang bisa belajar banyak dari pendekatan tersebut. Program perumahan di Singapura, seperti HDB (Housing and Development Board), sangat terstruktur dan berbasis pada kebutuhan masyarakat. Di sana, setiap kelompok masyarakat mendapatkan subsidi yang jelas dan terukur, yang disesuaikan dengan kemampuan mereka. Jika Indonesia ingin menerapkan model serupa, penting untuk melakukan analisis mendalam mengenai kebutuhan masyarakat lokal, serta menentukan skema subsidi yang dapat diakses oleh berbagai kelompok. Dengan pendekatan yang berbasis kebutuhan dan transparansi, gesekan sosial dapat diminimalkan, dan masyarakat akan lebih mendukung inisiatif perumahan yang diusulkan
Sumber:
Materi Presentasi Housing Crisis in Indonesia, Caritra Indonesia