Perubahan iklim tidak hanya menjadi ancaman bagi masa depan global, tetapi juga mempengaruhi kehidupan sehari-hari masyarakat perkotaan di Indonesia.  Di tingkat global dan nasional, isu perubahan iklim semakin berkembang dan mengemuka seiring dengan meningkatnya tren bencana akibat perubahan iklim. Perubahan iklim berpotensi signifikan memperparah masalah perkotaan setiap tahunnya. Kejadian cuaca ekstrem semakin sering terjadi, termasuk gelombang panas, hujan deras, banjir, serta gangguan terhadap akses air bersih.  Dampak perubahan iklim ini semakin dirasakan masyarakat yang tinggal di perkotaan.

Urbanisasi, yaitu proses pertumbuhan dan perkembangan kota, sangat terkait dengan bencana dan isu perubahan iklim perkotaan. Menurut United Nations (2018), pada tahun 2050, 68% penduduk dunia diproyeksikan akan tinggal di perkotaan. Di Indonesia, jumlah penduduk perkotaan mencapai 150 juta jiwa (BPS, 2019), dan 70% di antaranya terpusat di Pulau Jawa yang hanya mencakup 6,7% dari total luas daratan Indonesia (Handayani & Waskitaningsih, 2019). Ketidakseimbangan distribusi penduduk akibat persebaran aktivitas pembangunan yang tidak merata secara nyata berdampak pada perubahan iklim di perkotaan. Konsentrasi penduduk yang melebihi kapasitas dan daya dukung lingkungan (carrying capacity) menyebabkan berbagai tekanan (disturbance) terhadap lingkungan.

Urbanisasi dan Risiko Bencana

Urbanisasi yang pesat di Indonesia secara signifikan meningkatkan risiko bencana di wilayah perkotaan akibat perubahan iklim. Kepadatan penduduk dan kawasan terbangun yang tinggi, serta besarnya jumlah penduduk rentan seperti anak- anak, lanjut usia, penduduk miskin, dan kelompok marginal pada wilayah perkotaan berisiko tinggi mengalami dampak bencana tersebut. Fenomena urbanisasi dan kepentingan ekonomi berkaitan erat dengan perubahan penggunaan lahan dan tekanan pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) memperparah terjadinya bencana. Misalnya, pembangunan di daerah rawan bencana dan alih fungsi hutan di wilayah hulu yang meningkatkan potensi banjir di hilir. Eksploitasi air tanah berlebihan juga dapat meningkatkan ancaman banjir.

Tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan iklim membawa masalah baru bagi banyak kota di dunia, termasuk Kota Semarang di Indonesia. Salah satu fenomena perubahan iklim di Kota Semarang adalah meningkatnya intensitas curah hujan. Sebagai salah satu kota pesisir terbesar di sepanjang pantai utara Pulau Jawa, Kota Semarang menghadapi ancaman dampak perubahan iklim seperti bencana banjir dan tanah longsor. Sejati et al. (2019) mengemukakan bahwa Kota Semarang mengalami kenaikan suhu permukaan sampai dengan 30°C pada 2018. Peningkatan lahan terbangun yang diikuti dengan penurunan jumlah vegetasi di Kota Semarang kemudian menyebabkan naiknya rata-rata suhu permukaan sebesar 2-5°C. Marfai (2014) dalam penelitiannya di wilayah perkotaan Jakarta dan Semarang, menjelaskan kenaikan muka air laut pada dua wilayah perkotaan tersebut mempengaruhi peningkatan kejadian banjir, kerusakan permukiman dan infrastruktur.

Ketahanan Kota Sebagai Solusi

Seiring dengan berkembangnya wacana tentang adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, konsep resiliensi diusulkan sebagai solusi adaptasi transformatif dalam menghadapi berbagai perspektif pembangunan perkotaan yang berkelanjutan. Ketahanan kota mengacu pada kemampuan yang cukup untuk mengatasi berbagai gangguan, termasuk dampak bencana yang disebabkan oleh perubahan iklim. Mahditia Paramita menjelaskan bahwa ketahanan kota seharusnya ditingkatkan untuk menghadapi berbagai perubahan, baik yang positif maupun negatif (Paramita, 2023). Fokus utama perlu diberikan pada kemampuan kota dalam menghadapi bencana alam, terorisme, krisis ekonomi, dan kondisi tidak terduga lainnya. Namun, kesiapan untuk menyambut perubahan positif seperti urbanisasi besar-besaran akibat keberhasilan pembangunan fisik kota juga tidak boleh dikesampingkan.

Untuk mewujudkan ketahanan kota, diperlukan pemahaman yang bersifat multidimensi atau multisektor serta keterlibatan berbagai pemangku kepentingan. Keberhasilan ketahanan kota bergantung pada sejauh mana pemahaman ini diintegrasikan dalam perencanaan dan pembangunan kota. Konsep pembangunan kota yang tangguh terhadap perubahan iklim diperlukan sebagai respons terhadap isu perubahan iklim secara global, yang juga berdampak pada meningkatnya frekuensi kejadian bencana. (EBH)

 

 

Referensi:

Budianto, Y. 2024. Transformasi Perkotaan Menghadapi Perubahan Iklim. Diakses dari https://www.kompas.id/baca/riset/2022/10/03/transformasi-perkotaan-menghadapi-perubahan-iklim pada tanggal 4 Juni 2024.

Handayani, W. & Waskitaningsih, N. (2019), Kependudukan Dalam Perencanaan Wilayah Dan Kota, Teknosain, Yogyakarta.

Ismi, N. 2023. Kota Layak Huni dan Ancaman Nyata Perubahan Iklim. Diakses dari https://www.mongabay.co.id/2023/07/23/kota-layak-huni-dan-ancaman-nyata-perubahan-iklim/ pada tanggal 4 Juni 2024.

Marfai, M.A. (2014), “Impact of sea level rise to coastal ecology: A case study on the Northern part of Java Island, Indonesia”, Quaestiones Geographicae, Vol. 33 No. 1, pp. 107–114.

Pangarso dkk. 2021. Ketahanan Iklim Perkotaan Konsep Praktik Instrumen dan Tata Kelola. Semarang: Yayasan Inisiatif Perubahan Iklim dan Lingkungan Perkotaan

Paramita, M. 2023. Strategi Membangun Kota. Yogyakarta: Yayasan Caritra Indonesia.

sahabat.pu.go.id. 2024. Antisipasi Dampak Perubahan Iklim Kementerian PUPR Dorong Infrastruktur Perkotaan yang Berkelanjutan dan Sirkular. Diakses dari https://sahabat.pu.go.id/eppid/page/kilas_berita/3255/Antisipasi-Dampak-Perubahan-Iklim-Kementerian-PUPR-Dorong-Infrastruktur-Perkotaan-yang-Berkelanjutan-dan-Sirkular pada tanggal 4 Juni 2024.

Sejati, A.W., Buchori, I. & Rudiarto, I. (2019), “The spatio-temporal trends of urban growth and surface urban heat islands over two decades in the Semarang Metropolitan Region”, Sustainable Cities and Society, Vol. 46 No. July 2018, p. 101432.