Sudah jadi rahasia umum kalau kota-kota di Indonesia sangat semrawut dalam hal tata ruang. Kesemrawutan ini mengakibatkan terjadinya kemacetan, fenomena urban sprawl, tersendatnya perputaran ekonomi, dan berbagai masalah lain yang menunjukkan kalau kota-kota di Indonesia banyak yang tidak efisien. Bahkan, Tomtom Traffic Index 2023 menuliskan Jakarta, kota dengan penduduk terbanyak se-Indonesia, sebagai kota paling macet ke-30 sedunia. Kemacetan membuat pengantaran logistik terhambat dan berakibat pada naiknya ongkos distribusi bahkan produksi barang. Selain itu, warga jadi kesulitan berpergian, khususnya mereka yang terpaksa tinggal di pinggiran kota akibat fenomena urban sprawl dan jauh dari pusat kota tempat mereka bekerja atau beraktivitas. Alhasil, banyak pengusaha, pekerja, dan warga kota yang rugi secara ekonomi dan waktu akibat kota yang tidak efisien. Pengembangan kota-kota Indonesia yang cenderung organik dan tidak memperhatikan kaidah penataan ruang, perencanaan yang terlanjur car-oriented, serta tidak mengantisipasi laju urbanisasi menjadi alasan kota-kota Indonesia jadi semrawut.

Kota yang “efisien”, menurut Muliawati (2022), semestinya memiliki ketepatan dalam hal penataan dan penggunaan tata ruang perkotaan, penyelenggaraan pelayanan umum, serta pembangunan prasarana dan sarana. Dengan demikian, kota tersebut dapat menghindari “pemborosan” ekonomi dan lahan, mengatasi kemacetan, serta mendorong ragam jenis kegiatan di dalam kota secara produktif dan berkelanjutan. Membuat kota-kota di Indonesia menjadi efisien dengan membangun ulang kota-kota tersebut dari awal adalah solusi yang mustahil. Menurut Paramita (2022) solusi kota yang “efisien” dan penyelenggaraan perkim yang berimbang dapat diwujudkan melalui pengembangan infrastruktur berprinsip transit-oriented development (TOD).

Ringkasnya, TOD merupakan jenis pengembangan perkotaan yang memaksimalkan jumlah ruang hunian, bisnis, dan rekreasi dalam hal kemudahan mobilisasi, berjalan kaki dari transportasi umum yang umumnya memiliki radius 400-800 meter atau 5-10 menit berjalan kaki. TOD diterapkan melalui penautan pusat-pusat “kota” sesuai prinsip pengembangan, dalam arti penguasan lahan dibeli oleh pemerintah daerah untuk fasilitas umum (Paramita, 2022). TOD bertujuan untuk meningkatkan jumlah penumpang angkutan umum dengan mengurangi penggunaan mobil pribadi dan dengan mempromosikan pertumbuhan perkotaan yang berkelanjutan. Pengembangan TOD memiliki delapan prinsip sebagaimana dirumuskan ITDP (2017): walk, cycle, connect, transit, mix, densify, compact, dan shift.

Lantas, mengapa kemudian TOD dapat membuat sebuah kota menjadi efisien? Mari bandingkan kota Jakarta dengan Singapura dan Hong Kong yang memiliki indeks kemacetan jauh lebih rendah.

 

Transit-Oriented Development, Juru Selamat Kota-kota Indonesia Nan Semrawut

Dari infografis tersebut, terlihat bahwa sistem mobilitas di Jakarta sangat bergantung pada mobil pribadi dibandingkan dengan Singapura dan Hong Kong. Alasannya? Akibat pengembangan kota yang terlanjur organik dengan tata guna lahan yang “boros” dan car-centric, warga Jakarta dan warga kota-kota lainnya di Indonesia memiliki pilihan yang terbatas untuk mobilitas dari rumah mereka ke tempat tujuan. Terlebih lagi, fenomena urban sprawl dan sub-urbanisasi akibat keterbatasan lahan di pusat kota membuat jarak mobilisasi bisa semakin jauh sehingga hanya bisa mengandalkan kendaraan pribadi untuk bepergian dengan nyaman. Kalau hal ini dibiarkan terus-terusan, ruas-ruas jalan kota akan semakin macet dan membuat kota jadi lebih tidak efisien.

Lain halnya dengan Singapura dan Hong Kong yang sejak 1970-an sudah dikembangkan dengan karakteristik TOD. Kehadiran transportasi umum disertai redevelopment besar-besaran di sekitar titik transit transportasi umum dengan tata guna lahan kompak atau ‘dimaksimalkan’ dalam satu blok atau area dengan ragam jenis kegiatan membuat warga tidak perlu bepergian begitu jauh. Pun jika bepergian, warga memiliki lebih banyak pilihan yang melengkapi satu sama lain, baik itu menaiki transportasi umum, bersepeda, maupun berjalan kaki di atas trotoar yang nyaman. Secara bertahap, warga cenderung menghindari kendaraan pribadi sehingga tidak terjadi kemacetan. Dampaknya, rantai perekonomian dapat berjalan lancar dan secara bertahap, baik Singapura maupun Hong Kong keluar dari kemiskinan di masa silam dan menjadi percontohan TOD bagi kota-kota lain.

Dengan keterbatasan perencanaan perkotaan di Indonesia yang terlanjur semrawut, pengembangan TOD guna membuat kota-kota Indonesia menjadi efisien dapat dilakukan dengan mengembangkan compact district di sekitar kawasan TOD. Untuk mewujudkan compact district tersebut, pemerintah melalui fungsi pengendalian dan pengawasan perlu mendorong penggunaan lahan di sekitar TOD agar mengakomodasi penggunaan lahan campuran (mixed use). Selain itu, guna memadatkan bangunan dalam area TOD, pemerintah juga dapat memperkenalkan aturan seperti Garis Sempadan Bangunan (GSB) nol dan memaksimalkan Koefisien Dasar Bangunan (KDB) serta Koefisien Lantai Bangunan (KLB). Pemerintah juga wajib mengembangkan aksesibilitas transportasi umum dengan mengutamakan pejalan kaki dan pesepeda serta menghadirkan lebih banyak ruang publik yang memberi ruang bagi ragam kegiatan warga setempat. (YHC)

 

Referensi

City stats: Car oriented city. JPI. (2021). https://jpi.or.id/city-stats-car/ 

Direktorat Jenderal Penataan Ruang Republik Indonesia. (2003). Sejarah Penataan ruang Indonesia. SIMANTU PUPR. https://simantu.pu.go.id/personal/img-post/autocover/5bb994c3318a84 3029dcda788604e25c.pdf 

Dixon, S., Antunes, M. E., & Corwin, S. (2020, October 1). 2020 Deloitte City mobility index. Deloitte Portugal. https://www2.deloitte.com/pt/en/pages/public-sector/articles/2020-Deloitte-City-Mobility-Index.html 

Hidayati, I., Yamu, C., & Tan, W. (2020). Realised pedestrian accessibility of an informal settlement in Jakarta, Indonesia. Journal of Urbanism: International Research on Placemaking and Urban Sustainability, 14(4), 434–456. https://doi.org/10.1080/17549175.2020.1814391 

Lu, Y., Gou, Z., Xiao, Y., Sarkar, C., & Zacharias, J. (2018). Do transit-oriented developments (TODS) and established urban neighborhoods have similar walking levels in Hong Kong? International Journal of Environmental Research and Public Health, 15(3), 555. https://doi.org/10.3390/ijerph15030555 

Muliawati, A. (2022, August 8). Pengembangan Transit Oriented Development (TOD) Dalam Mewujudkan Kota Yang Efisien. Himpunan Mahasiswa Geografi Pembangunan. https://hmgp.geo.ugm.ac.id/2022/08/08/pengembangan-transit-oriented-development-tod-dalam-mewujudkan-kota-yang-efisien/ 

Paramita, Mahditia. (2022). Inovasi Kebijakan & Tata Kelola Perkim: Menuju Indonesia Emas 2045. Yogyakarta: Caritra Indonesia.

PB’s Placemaking Group. (2011). Winnipeg Transit-oriented Development Handbook. City of Winnipeg. April 23, 2024, https://legacy.winnipeg.ca/ppd/Documents/CityPlanning/ PoliciesGuidelinesStudies/Transit-Oriented-Development-Handbook.pdf 

Rosalina , M. P. (2019, June 24). Jakarta dan urban sprawl. kompas.id. https://www.kompas.id/ baca/utama/2019/06/24/jakarta-dan-urban-sprawl 

TomTom International BV. (2024, April 18). Traffic index ranking: Tomtom traffic index. TomTom Traffic Index. https://www.tomtom.com/traffic-index/ranking/ 

Zhu, Y., & Diao, M. (2016). The impacts of urban mass rapid transit lines on the density and mobility of high-income households: A case study of singapore. Transport Policy, 51, 70–80. https://doi.org/10.1016/j.tranpol.2016.03.013