Kalau kita bertanya kepada orang-orang, satu kata yang mendeskripsikan Yogyakarta, sebagian dari mereka akan mengatakan bahwa Yogyakarta itu istimewa. Jawaban ini merupakan hasil dari place branding yang digalakkan oleh Pemerintah D.I. Yogyakarta.

 

Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang dikenal dengan status keistimewaannya, telah memiliki branding resmi “Jogja Istimewa” sejak tahun 2015. Dengan populasi sekitar 3,736 juta jiwa (BPS, 2023), DIY memanfaatkan branding ini sebagai upaya mempromosikan pariwisata, budaya, dan status keistimewaannya. Branding tersebut tidak hanya simbolis tetapi juga diperkuat dengan regulasi, seperti UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY dan Peraturan Gubernur DIY No. 131 Tahun 2021 yang mengatur Grand Design Keistimewaan DIY 2022–2042. Di dunia digital, tagar #JogjaIstimewa telah digunakan lebih dari 4 juta kali di media sosial Instagram, menunjukkan keterlibatan aktif masyarakat dan wisatawan dalam mempromosikan DIY. Lebih lanjut, aplikasi “Jogja Istimewa” yang dirilis oleh Pemerintah DIY telah diunduh lebih dari 100 ribu kali, memudahkan akses layanan informasi bagi masyarakat dan wisatawan.

Govers dan Go (2009) mendefinisikan penjenamaan tempat atau place branding sebagai proses pemasaran yang mencakup pembuatan nama, simbol, logo, dan grafis yang membedakan suatu tempat, serta pengalaman yang terkait dengan tempat tersebut. Tujuan dari penjenamaan tempat ini adalah untuk memperkuat ingatan, membangun citra suatu lokasi, dan menarik minat orang untuk berkunjung. Selain definisi ini, terdapat berbagai definisi lain tentang penjenamaan tempat yang mencakup berbagai aspek dari logo dan slogan hingga ranah yang lebih luas (Ashworth, 2007). Zavatarro (2014) telah mengembangkan suatu kuadran yang mengklasifikasikan berbagai definisi dan implementasi penjenamaan tempat ke dalam empat kategori, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.

 

Domain Definisi Place Branding. Sumber: Zavatarro (2014)

 

Penjenamaan tempat atau place branding tidak hanya terbatas pada strategi pembuatan logo atau penyusunan tagline. Menurut Govers dan Go (2009), penjenamaan tempat berkaitan dengan upaya menjaga reputasi suatu lokasi. Reputasi merek tempat terbentuk dari citra atau gambaran yang ada dalam benak jutaan orang di seluruh dunia, yang dikenal sebagai place image.

Ketika membahas imaji suatu tempat atau place image, penting untuk memahami bahwa pembentukan imaji melibatkan konstruksi mental yang dibentuk dari berbagai kesan yang dipilih dari aliran informasi. Informasi ini bisa berasal dari sumber promosi seperti iklan dan brosur, opini orang lain seperti keluarga, kerabat, atau agen perjalanan, serta pemberitaan media dalam bentuk koran, majalah, berita televisi, dan dokumenter. Selain itu, kebudayaan populer seperti film dan literatur juga berkontribusi pada pembentukan imaji. Selanjutnya, pengalaman langsung dari kunjungan ke tempat tersebut akan mempengaruhi dan mengubah imaji berdasarkan informasi dan pengalaman yang diperoleh. Berbagai aspek ini secara keseluruhan membentuk place image dalam pikiran pengunjung potensial, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 3.

 

Empat komponen dari place image dan contohnya. Sumber: Govers dan Go (2009)

 

Karena imaji suatu tempat (place image) merupakan hasil dari konstruksi personal, yang lebih penting bukanlah persepsi objektif dari tempat tersebut, melainkan hubungan antara tempat dan individu, atau kongruitas diri (self-congruity). Imaji ini dipengaruhi oleh latar belakang sosial budaya, karakteristik pribadi dan psikologis, serta identitas setiap individu. Self-congruity mencakup proses pencocokan antara konsep diri (self-concept) pengunjung dengan imaji tempat yang terbentuk dalam benak mereka.

Seiring individu mengunjungi berbagai destinasi, place image mereka dapat berubah. Elemen dari place branding yang membentuk place image dalam persepsi seseorang dapat dikelompokkan dalam beberapa kategori, seperti kognitif, afektif, atau konatif. Kategori ini meliputi atribut berdasarkan atribut (attribute-based) yang dibandingkan dengan holistik; fungsional dibandingkan dengan psikologis; serta umum dibandingkan dengan unik. Imaji yang diterima dapat muncul dalam berbagai bentuk, metode, dan karakteristik yang berbeda di berbagai tempat.

 

Pemodelan 3-Gap Place Branding. Sumber: Govers dan Go (2009)

 

Merujuk pada Gambar 4, selain dipengaruhi oleh agen yang diinduksi seperti pemasaran (marketing) dan agen organik seperti pengalaman langsung (experience), imaji juga dipengaruhi oleh agen-agen otonom, yaitu faktor-faktor yang disampaikan melalui media berita mengenai pengaruh lingkungan dan situasi terkini. Faktor-faktor ini meliputi kondisi ekonomi, situasi politik, perkembangan teknologi, dan perubahan sosial. Pengaruh lingkungan dan situasi terkini dapat secara signifikan mempengaruhi imaji seseorang dalam waktu singkat. Pengaruh ini cenderung berdampak lebih besar pada pembentukan imaji sebelum kunjungan, dibandingkan setelah kunjungan, yang lebih dipengaruhi oleh pengalaman pribadi.

Pengaruh lingkungan dan situasi terkini dapat memberikan dampak besar baik secara positif maupun negatif terhadap place image. Misalnya, wabah SARS pada tahun 2004 yang diberitakan secara luas oleh media mempengaruhi tingkat kunjungan wisatawan ke daerah terdampak. Sebaliknya, kematian Ibu Suri Ratu pada tahun 2002 di Inggris justru meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke Inggris.

Place image terbentuk melalui interaksi antara individu dan narasi yang mempengaruhi persepsi mereka terhadap suatu lokasi. Word of mouth, baik dalam bentuk tradisional maupun online (word of mouse), sangat berperan dalam pembentukan place image, terutama ketika keputusan pengunjung melibatkan risiko emosional dan finansial. Dalam place branding, penting untuk menciptakan citra yang konsisten dan realistis untuk menghindari ketidakpuasan. Ketidakpuasan dapat muncul ketika pengalaman nyata tidak sesuai dengan citra yang dipromosikan, terutama bagi pengunjung dari latar belakang budaya yang berbeda.

Penelitian menunjukkan bahwa agen otonom seperti word of mouth dan media sosial memiliki dampak yang lebih besar pada kepuasan pengunjung dibandingkan dengan strategi pemasaran langsung. Studi kasus Dubai oleh Govers dan Go (2009) menekankan pentingnya membangun place image yang dapat memenuhi ekspektasi pengunjung untuk menghindari terjebak dalam stereotip yang tidak sesuai dengan pasar tertentu.

 

Logo dan Tagline Jenama “Jogja Istimewa”. Sumber: Humas Pemprov DIY (2015)

 

Menindaklanjuti ditetapkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta, Pemerintah Daerah DIY melalui Bappeda DIY meluncurkan penjenamaan “Jogja Istimewa” pada tahun 2015. Tujuan dari penjenamaan ini adalah untuk memperbarui citra Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi lebih dinamis, terbuka, dan mencerminkan keistimewaan daerah tersebut. Penjenamaan ini mencakup seluruh aspek tata kelola kehidupan di Yogyakarta dan berhubungan erat dengan Keistimewaan DIY, sebagaimana diungkapkan oleh Inas (2018). Penjenamaan “Jogja Istimewa” mencerminkan lima wewenang istimewa yang diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU No. 13 Tahun 2012, yaitu:

  1. Pengangkatan gubernur
  2. Pemerintahan
  3. Kebudayaan
  4. Pertanahan
  5. Tata Ruang

Penjenamaan Daerah Istimewa Yogyakarta dengan jenama “Jogja Istimewa,” yang mencakup logo, tagline, dan supergrafis, memiliki berbagai manifestasi. Berdasarkan dokumen branding yang dirilis oleh Pemerintah DIY pada tahun 2015, tagline “Jogja Istimewa” menyiratkan bahwa setiap pemimpin, pejabat pemerintahan, dan warga masyarakat harus bekerja sama dalam semangat “Golong Gilig” untuk mewujudkan “Jogja Istimewa.” Untuk mencapai “maqom keistimewaan,” pedoman “ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani” perlu dihidupkan dan dijalankan secara konsisten. Selain itu, penjenamaan ini juga menekankan nilai-nilai progresif, yaitu transparansi dan keterbukaan yang harus disertai dengan performa dan kreativitas agar dapat bersaing di tingkat global. Nilai lainnya adalah integritas, yang mencakup keselarasan antara pikiran, perkataan, dan tindakan.

Dalam konteks jenama “Jogja Istimewa,” Pemerintah DIY (2015) mengacu pada arti kata “istimewa” menurut KBBI, yang berarti sesuatu yang berbeda dan lebih baik dari yang lain. “Istimewa” di sini tidak hanya merujuk pada “status politik,” melainkan mencerminkan “ruh” dari kehidupan di Yogyakarta. Istimewa diartikan sebagai hasil dari “kerja keras” untuk mencapai “maqom keistimewaan,” sehingga Yogyakarta dapat menjadi lebih unggul dibandingkan tempat lain. Dokumen yang sama juga menyebutkan bahwa Pemerintah DIY berharap jenama “Jogja Istimewa” akan menjadi “pusaka” peradaban masa kini, yang akan menjadi pedoman dalam arah pembangunan Yogyakarta.

Seberapa efektifkah place branding Yogyakarta? Melalui serangkaian analisis tren media online yang dilakukan dalam kurun waktu Desember 2023 silam oleh PWK UGM, jenama “Jogja Istimewa” secara umum memiliki kepuasan penerimaan yang cukup baik di dalam masyarakat secara umum dengan lebih dari 70% dari mention yang beredar dalam jagad media online memiliki sentimen positif. Secara kekompetitifan jenama terhadap jenama lain, masyarakat umum jauh lebih mengunggulkan dan mengingat jenama “Jogja Istimewa”, ditandai dengan presence score mencapai 54% yang mana jauh lebih tinggi dibandingkan 76% jenama atau topik lainnya dalam kurun waktu yang sama.

 

Kata Kunci atau Tagar Impresi Masyarakat Umum terhadap Kelima Aspek Keistimewaan Yogyakarta. Sumber: S1 Perencanaan Wilayah dan Kota UGM (2023)

 

Sementara itu, bila ditinjau dari kesenjangan antara kelima aspek keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana tercantum dalam UU Keistimewaan DIY, maka aspek keistimewaan kebudayaan merupakan yang paling banyak mendapatkan impresi atau dalam hal ini paling banyak merepresentasikan gambaran masyarakat mengenai keistimewaan Yogyakarta apa yang membuat Yogyakarta istimewa dibandingkan tempat lain. Di saat bersamaan, aspek keistimewaan DIY yang justru mendapat lonjakan mention dari warga dibandingkan sebelumnya adalah aspek keistimewaan pengangkatan Gubernur yang mana menjelaskan mengapa pada rentang waktu ini terjadi kenaikan mention serta pengguna terjangkau, tepatnya pada rentang waktu 5–8 Desember, yang sayangnya kata kunci terkait memiliki sentimen negatif dalam masyarakat pengguna media daring. Adapun selain aspek keistimewaan tersebut, aspek keistimewaan lain yakni penataan ruang juga memiliki mention dengan sentimen negatif yakni terkait dengan ruas jalan di Yogyakarta yang konteksnya terkait dengan kemacetan jalan pada musim liburan akhir tahun.

Meskipun mendapatkan pengakuan dari berbagai pihak mengenai keberhasilan place branding “Jogja Istimewa” di Daerah Istimewa Yogyakarta, hasil analisis sentimen, tren, dan kesenjangan branding tetap perlu dipertimbangkan dalam merencanakan strategi place branding ke depan. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kepuasan masyarakat, dengan fokus khusus pada aspek keistimewaan yang pada periode penelitian menunjukkan sentimen negatif. (YHC)

 

REFERENSI

1) Ashworth, G., & Kavaratzis, M. (2007). Beyond the logo: Brand management for cities. Urban and Regional Studies Institute, Brand Management, 16, 520–531. DOI:

2) Badan Pemeriksa Keuangan Perwakilan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (2007). Kajian hukum tentang keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Diakses dari https://yogyakarta.bpk.go.id/wp-content/uploads/2013/06/ Keistimewaan-DIY.pdf

3) Christomo, Y. (2023). Pengaruh Branding Jogja Istimewa Terhadap Kepuasan Masyarakat atas Status Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Berdasarkan Analisis Sentimen dan Tren Media Daring serta Kesenjangan Terhadap Aspek Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta [S1 Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Gadjah Mada]. https://yehezkielchristomo.medium.com/pengaruh-penjenamaan-jogja-istimewa-terhadap-kepuasan-masyarakat-atas-provinsi-daerah-istimewa-dd086147f5d0

4) Diekson, Z.A., Prakoso, M.R.R.B. (2003). Sentiment analysis for customer review: Case study of Traveloka. Procedia Computer Science. 216(6245):682–690. DOI:10.1016/j.procs.2022.12.184

5) Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (2009). Ensiklopedi Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Dinas Kebudayaan DIY.

6) Govers, R., & Go, F. (2009). Place branding: glocal, virtual, and physical identities, constructed, imagined, and experienced. London: Palgrave Macmillan

7) Inas, F. (2018). Pemrekaan Jogja Istimewa dan pengaruhnya terhadap citra pariwisata dan pengalaman berwisata di Yogyakarta menurut persepsi wisatawan nusantara [Universitas Gadjah Mada]. https://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/158910.

8) Munawir, Koerniawan, M.D., Dewancker, B.J. (2019). Visitor perceptions and effectiveness of place branding strategies in thematic parks in Bandung City using text mining based on Google Maps User Reviews. Sustainability. 11(7):2123. DOI: 10.3390/su11072123

9) Pemerintah Indonesia. (2012). Undang-Undang (UU) Nomor 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta.

10) Pemerintah Indonesia. (1950). Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Jogjakarta

11) Pemerintah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. (2021). Peraturan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 131 Tahun 2021 tentang Grand Design Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta Tahun 2022–2042

12) Zavatarro, S. (2014). Place Branding Through Phases of the Image. London: Palgrave Macmillan