Pariwisata cukup digandrungi oleh setiap pedesaan di Indonesia. hal tersebut terbukti atas catatan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif yang mendapati 4.674 desa wisata di Indonesia. Tentu, bentuk pariwisata di desa tidak hanya dalam bentuk desa wisata saja, beragam objek wisata hadir di pedesaan justru hadir bukan karena wilayah tersebut adalah desa wisata.
Wajar saja jika banyak warga maupun perangkat desa di setiap pelosok Indonesia selalu menggandrungi untuk dapat melahirkan ‘spot’ wisata di desanya. Keuntungan untuk Pendapatan Asli Desa (PAD) tidak main-main. Seperti halnya Desa Ponggok, dulunya desa ini hanya desa kecil yang memiliki pendapatan sekitar Rp80 juta per tahunnya. Setelah memaksimalkan potensi yang dimiliki desa, Desa Ponggok berkembang drastic, dan hingga kini memiliki pendapatan sekitar Rp14 miliar per tahun.
Berpindah ke Pulau Dewata, ada Desa Kutuh yang terkenal dengan Pantai Pandawa yang memiliki cerita serupa. Pada awalnya Desa Kutuh bergantung pada ekonomi tradisional seperti bergantung pada hasil pertanian dan aktivitas subsistensi lainnya, seperti budidaya rumput laut. Setelah pengembangan Bumdes dan pembukaan Pantai Pandawa, pemerintah pusat menobatkan Desa Kutuh menjadi desa terkaya di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, pendapatan Desa Kutuh saat ini mencapai Rp50 miliar per tahun dengan laba bersih per tahun sebanyak Rp14,5 miliar pada tahun 2018.
2002 : Pemekaran Desa
|
2014 : Mendapat Bantuan Pemerintah atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014
Pasal 87 ayat 1
|
2016 : Bumdes Terbaik
|
2018 : Mendapati Pendapatan tertinggi yang mencapai Rp50 miliar
Kita semua setuju bahwa pariwisata telah meningkatkan perekonomian Desa Kutuh. Keberagaman wisatawan yang hadir juga membawa perubahan dalam tatanan sosial dan budaya lokal, seperti meningkatnya pendidikan dan interaksi internasional masyarakat. Namun, hal-hal tersebut juga bukan tidak mungkin membawa persoalan yang tak terhindarkan.
Perlu dipahami bahwa kesejahteraan atas peningkatan pendapatan desa mungkin saja tidak merata. Data BPS 2024 menyebutkan bahwa terjadi peningkatan kemiskinan diantara tahun 2021 hingga 2023 di Kabupaten Badung. Hal ini setidaknya menjadi refleksi bahwa peningkatan suatu desa terkadang tidak memberikan kepastian peningkatan perekonomian bagi dearah sekitarnya. Kenaikan harga lahan dan pergeseran penggunaan lahan atas kepentingan komersial selalu tak terhindarkan (Sutedja dkk., 2019).
Indikator Kemiskinan | Kondisi Kemiskinan Kabupaten Badung | ||
2021 | 2022 | 2023 | |
Garis Kemiskinan | 613,993 | 633,769 | 688,018 |
Jumlah Penduduk Miskin (Ribu Jiwa) | 18,52 | 18,28 | 17,01 |
Persentase Penduduk Miskin (%) | 2,62 | 2,53 | 2,3 |
Indeks Kedalaman Kemiskinan | 0,43 | 0,29 | 0,11 |
Indeks Keparahan Kemiskinan | 0,1 | 0,05 | 0,01 |
Sumber: BPS Kabupaten Bandung, 2024
Kepentingan komersial juga menimbulkan komodifikasi budaya (Sutedja dkk., 2019). Selain mengancam kemurnian tradisi, aspek-aspek budaya lokal yang dikomersialisasi untuk menarik wisatawan memaksa masyarakat harus menghadapi ‘babak baru’ yang secara terpaksa juga tiba-tiba. Cukier & Wall (1995) menyoroti perbedaan akses pria dan wanita dalam mendapati pekerjaan yang berbeda di sektor pariwisata, serta keterikatan wanita dalam peran tradisional di rumah juga komunitas menutup akses keseteraan pekerjaan bagi wanita. Pertentangan konflik horizontal pun acap kali tak terhindarkan.
Mass tourism atau pariwisata massal selalu menghadapi persoalan lingkungan. Meski ada upaya untuk menjaga lingkungan, persoalan polusi hingga sampah plastik masih menjadi persoalan penting yang belum teratasi. Peningkatan pembangunan sekitar tempat wisata juga mengubah ‘cara pandang’ masyarakat terhadap alam di sekitar kawasan wisata mereka.
Pariwisata Berkelanjutan
Konstruksi pemikiran untuk membuat suatu daerah menjadi ‘unik’ perlu direfleksikan kembali, terlebih guna kepentingan komersial atau kapital. Desa merupakan unit pemerintahan terkecil yang memiliki peranan penting dalam pembangunan nasional (BPS 2024). Ketergantungan ekonomi pada sektor pariwisata dapat menjadi bumerang bagi masyarakat jika pemangku kebijakan desa tidak menilik permasalahan atas dampak buruk yang dapat dihadirkan wisata.
Apabila pembangunan wisata selaras dengan kemampuan yang dimiliki masyarakat, memerhatikan keadilan dan kesejahteraan masyarakat sendiri yang terbaluk pada peraturan lokal setempat, pengaturan pengelolahan lahan yang adil tanpa mengorbankan lanskap kesejarahan, hingga dapat mengelola sampah dan limbah dengan baik, bukan tidak mungkin sebuah komunitas di pedesaan akan sangat berdaya dan memberikan kemakmuran bagi masyarakat disekitarnya.
Referensi
Cukier, J., & Wall, G. (1995). Tourism employment in Bali: A gender analysis. Tourism Economics, 1(4), 389-401.
Sutedja, I. D. M., Dewi, P. S. K., & Sihwinarti, D. (2019, November). THE IMPACT OF TOURISM IN THE VILLAGE OF SOUTH KUTUH KUTA BADUNG: ECONOMIC, SOCIAL CULTURAL, AND ENVIRONMENTAL PERSPECTIVES. In International Conference on Fundamental and Applied Research (I-CFAR).
https://badungkab.bps.go.id/id/statistics-table/2/NjkjMg==/kondisi-kemiskinan-kabupaten-badung.html
https://www.masterplandesa.com/desa-wisata/desa-wisata-hanyalah-tre