Pada tahun 2015, DKI Jakarta menghadapi tantangan serius terkait penataan ruang, terutama di bantaran Sungai Ciliwung yang sering dilanda banjir. Kampung Pulo, di Kelurahan Kampung Melayu, menjadi sorotan dalam program normalisasi sungai yang diluncurkan oleh Pemerintah DKI Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Joko Widodo. Normalisasi ini bertujuan untuk mengurangi risiko banjir dengan cara merelokasi permukiman yang berada di sepanjang bantaran sungai.

Namun, proyek ini tidak berjalan mulus, data dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menunjukkan bahwa setidaknya 917 keluarga tinggal di Kampung Pulo, dengan 533 rumah yang tersebar di 3 RW. Proses relokasi tersebut memicu konflik antara pemerintah dan warga yang menolak penggusuran, mengungkap permasalahan mendasar terkait legalitas tanah dan hak masyarakat atas tempat tinggal, serta menunjukkan lemahnya komunikasi antara kedua pihak. Situasi tersebut menciptakan urgensi untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan bagi masyarakat yang terdampak.

 

Penataan Ruang Sempadan Sungai dan Permukiman Ilegal

Penetapan garis sempadan sungai diatur dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat Nomor 28 Tahun 2015, yang menyebutkan bahwa permukiman di kawasan perkotaan harus berada minimal 3 meter dari tepi sungai. Dalam konteks Sungai Ciliwung di Kampung Pulo, peraturan tersebut tidak diimplementasikan secara konsisten. Permukiman yang sudah lama ada di sana berdiri tanpa jarak yang memadai dari tepi sungai, menjadikan kawasan ini rentan terhadap banjir.

Permukiman di Kampung Pulo juga masuk kategori “squatter settlement” atau permukiman liar yang berdiri di lahan tanpa legalitas formal. Berdasarkan karakteristik permukiman squatter menurut para ahli, kawasan ini memiliki kepadatan penduduk tinggi, tidak layak secara peruntukan ruang, minim fasilitas sanitasi, dan ilegal dari segi kepemilikan tanah. Faktor-faktor inilah yang menjadi alasan pemerintah untuk melakukan penertiban dan normalisasi sungai.

 

Kronologi Permasalahan Kampung Pulo

Kampung Pulo merupakan permukiman dengan status tanah adat yang telah ada selama lebih dari 60 tahun. Pada tahun 2012, Pemerintah DKI Jakarta mengidentifikasi kawasan ini sebagai wilayah rawan banjir, bahkan salah satu yang terparah. Sebagai respon hasil identifikasi ini, pada tahun yang sama, pemerintah mulai merencanakan normalisasi Sungai Ciliwung, yang kemudian diikuti dengan serangkaian sosialisasi kepada warga pada 2013 dan 2014.

Meski begitu, proses sosialisasi tersebut tidak berjalan mulus. Pada 2015, terjadi bentrokan antara warga dan petugas saat dilakukan penggusuran. Pemerintah mengeluarkan pernyataan bahwa tidak ada mekanisme ganti rugi bagi warga karena permukiman tersebut dinilai ilegal. Sebaliknya, masyarakat merasa bahwa mereka berhak atas tanah tersebut dan menuntut kompensasi. Kondisi ini semakin memanas hingga menyebabkan terjadinya aksi protes dari warga yang dipimpin oleh tokoh-tokoh lokal.

 

Dampak Sosial dan Ekonomi

Konflik yang terjadi di Kampung Pulo tidak hanya berdampak pada masyarakat lokal, tetapi juga pada citra pemerintah. Menurunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah merupakan salah satu implikasi dari ketidakefektifan komunikasi antara kedua belah pihak. Ketidakjelasan status kepemilikan lahan dan kurangnya dialog terbuka menyebabkan masyarakat merasa termarginalkan dan terpinggirkan dari proses pengambilan keputusan.

Dari sisi ekonomi, relokasi ke rusunawa dianggap tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup warga Kampung Pulo. Banyak di antara mereka yang bekerja di sektor informal, seperti perdagangan kecil, kehilangan sumber penghasilan akibat keterbatasan akses di tempat baru. Kondisi ini memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial. Selain itu, trauma akibat penggusuran paksa menjadi beban psikologis tersendiri bagi warga yang terdampak.

 

Mencari Solusi Berbasis Keadilan

Permasalahan Kampung Pulo adalah cerminan dari kompleksitas urbanisasi di Jakarta. Di satu sisi, pemerintah berkewajiban menjaga kapasitas sungai untuk mencegah banjir, namun di sisi lain, hak masyarakat atas hunian layak juga harus diperhatikan. Normalisasi sungai merupakan langkah penting untuk menjaga lingkungan dan mencegah banjir, tetapi pendekatan yang diambil haruslah holistik dan inklusif.

Untuk menghindari terulangnya konflik seperti ini di masa depan, penting bagi pemerintah untuk membuka ruang dialog yang lebih luas dengan masyarakat. Pendekatan kolaboratif yang melibatkan semua pihak dapat membantu merumuskan solusi yang tidak hanya menguntungkan pemerintah dalam hal tata ruang, tetapi juga memenuhi kebutuhan sosial dan ekonomi masyarakat terdampak. Sebuah solusi berbasis keadilan harus mempertimbangkan keseimbangan antara kebutuhan pembangunan kota dan hak-hak warga yang telah lama menghuni kawasan tersebut. (KQZ)

 

 

Referensi

Andini, L., Utami, A. (2022). Dampak Sosial Kultural Ex-Masyarakat Kampung Pulo Jakarta Pascarelokasi. Jurnal Analisis Sosial Politik, 6 (2), 123-131. Doi: 10.23960/JASP.V6I2.102

Firdaus, Febriana. (2015). Timeline: Pertemuan Warga Kampung Pulo dan Pemprov DKI Jakarta. Diakses dari rappler.com

Kuwado, F. J.. (2012). Normalisasi Sungai Ciliwung Tanpa Kekerasan. Kompas Online. Diakses dari Normalisasi Sungai Ciliwung Tanpa Kekerasan. Diakses dari kompas.com

Purba, Syaiful Arraufa. (2018). Kebijakan Relokasi Pemerintah DKI Jakarta (Kasus Relokasi Kampung Pulo DKI Jakarta). (Skripsi Sarjana, Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga).