Urbanisasi tidak hanya mempersoalkan mengenai perpindahan masyarakat desa yang berpindah ke daerah suburban atau kota (fisik). Walaupun masyarakat sudah berpindah (ke kota atau daerah suburban misalnya), secara umum sebagian besar ‘cara pandang’ hidup masyarakat yang sudah “berpindah” akan masih erat dengan ‘cara pandang’ mereka sebelumnya, seperti mungkin yang sebelumnya lebih condong dan bercirikan agraris, subsiten, hidup lebih sederhana, lebih memaknai nilai kebersamaan, atau mungkin memiliki interaksi sosial yang kuat (Supriyadi, B., Sudarwanto, B., & Werdiningsih, H, 2012).
Representatif hal-hal tersebut dapat dilihat pada kampung-kampung di perkotaan, salah satunya di sebuah kemantren di ujung Kota Yogyakarta, Kemantren Kotagede. Interaksi yang kuat serta rasa kebersamaan yang terbangun dan terkristal lalu menjadi “pegangan” bagi masyarakat yang memilih untuk bermukim di Kotagede. Akselerasi pertumbuhan kepadatan didorong juga oleh beragam fakta sejarah yang dapat menjelaskan bahwa Kotagede adalah sebagai titik awal peradaban dan ‘magnet’ perekonomian, seperti industri perak hingga bagaimana Kerajaan Mataram Islam menapakan kekuasaannya di Kotagede.
Padatnya masyarakat yang menetap di Kotagede, bukan berarti tidak meninggalkan sesuatu yang dapat menjadi masalah kedepannya.
Kemantren yang hampir keseluruhan daerahnya diapit oleh Kapa Banguntapan, Kabupaten Bantul ini memiliki 3 Kelurahan yang terbagi 40 RW dan 165 RT dengan total luas 298,80 ha. Sebanyak 35.357 penduduk (BPS, 2024) mendiami kecamatan ini. Atas kepadatan ini, rata-rata penduduknya mencapai lebih dari 11.000 jiwa per kilometer persegi sehingga membuat Kotagede tergolong sebagai area yang sangat padat. Selain itu, atas kepadatan yang ada, sekitar 38,9% wilayah Kotagede tergolong pada kategorisasi kepadatan permukiman buruk (Riestawati, N., & Widartono, B. S., 2016).
Kepadatan juga memberikan dampak buruk sanitasi suatu permukiman. Temuan Riestawati dan Windarto (2016) menjelaskan bahwa pada tahun 2012 ditemui sebaran kejadian kasus diare pada balita secara tidak merata, namun terjadi perubahan pola menyebar secara merata pada tahun 2013 dan 2014 di Kemantren Kotagede. Wilayah yang merupakan 9,4 % dari luasan Kota Yogyakarta ini rupanya sebagian besar (58,3%) jarak septic tank dengan sumur yang ada di rumah tinggal belum memenuhi batas aman. Sedangkan menurut Badan Standardisasi Nasional (BSN), jarak ideal septic tank dengan air sumur melalui SNI (Standar Nasional Indonesia) adalah 10 meter (liputan 6.com).
Belum banyak temuan mengenai persoalan padatnya permukiman yang berdekatan dengan lahan pemakaman atas temuan kasus diare pada balita atau setidaknya terdapat kesimpulan bahwa keduanya memiliki hubungan yang kurang kuat. Namun setidaknya, dari penelitian Cindy Eka Syafitri dan Lisnawati (2021), dapat didapati bahwa secara fisik air tanah bebas di Kemantren Kotagede menunjukkan masih dibawah ambang batas yang dianjurkan, namun termasuk masih layak konsumsi apabila dilihat dari aspek kimiawinya dari hasil uji laboratorium.
Ruang yang terbentuk di Kotagede tidak hanya dalam bentuk ‘eksisting’ saja, namun dibersamai dengan ruang sosial seperti gagasan Lefebvre—bahwa terjadi proses yang membuat ‘ruang’ menjadi sebuah komoditas yang dapat dipertukarkan namun disisi lain ruang juga berperan dalam membentuk aktivitas manusia atas kebutuhan dan kehidupan sehari-hari atas nilai-nilai manusia yang dianut masyarakat didalamnya (Molotch, 1993).
Dari persoalan Kotagede ini, kita dapat maknai bahwa urbanisasi tidak hanya mengubah lingkungan dan kehidupan warganya, melainkan memunculkan berbagai polemik bagi masyarakat yang berpindah. Perancangan tata kelola pembangunan daerah perkotaan menjadi catatan penting yang kemudian dapat dipergunakan untuk menjadi acuan pembangunan daerah setempat. Pembangunan yang humanis dapat memberikan kesejahteraan bagi suatu komunitas masyarakat didalamnya. (MTYR)
Referensi Berita:
Berita Mahasiswa UGM Teliti Kualitas Air Sumur di Kota Yogyakarta, Hasilnya? https://www.liputan6.com/regional/read/5651338/mahasiswa-ugm-teliti-kualitas-air-sumur-di-kota-yogyakarta-hasilnya
https://jogjakota.bps.go.id/id/statistics-table/1/MiMx/luas-wilayah-menurut-kecamatan.html
Referensi Bacaan:
BPS. 2024. KECAMATAN KOTAGEDE DALAM ANGKA.Yogyakarta. BPS Kota Yogyakarta.
Cindy Eka Syafitri & Lisnawati (2021). Kualitas Air Tanah Bebas di Kecamatan Kotagede Yogykarata.
Molotch, H. (1993). The space of Lefebvre. Diunduh dari https://www.jstor.org/stable/658004?casa_token=UrjRrMZ29W4AAAAA%3AK6zm4OW166YSUbBXL7jGdFvAxp39pc-bslM8rIngf5omn2pXm4-u_KE3IKc1xbYNOYf6yVyHlxNHrayY-NbPlJZPmtSG-_QwZtj9Js98kiv4dzlV_w&seq=1
Riestawati, N., & Widartono, B. S. (2016). Pemanfaatan Citra Quickbird dan Sistem Informasi Geografis untuk Pemetaan Tingkat Kerentanan Penyakit Diare pada Balita di Kecamatan Kotagede, Kota YOGYAKARTA. Jurnal Bumi Indonesia, 5(4), 228811.
Supriyadi, B., Sudarwanto, B., & Werdiningsih, H. (2012). In search of the power of Javanese culture against the cultural urbanization in Kotagede, Yogyakarta-Indonesia. Procedia-Social and Behavioral Sciences, 68, 676-686.