Topik urbanisasi di Indonesia selalu menarik untuk dibahas seiring dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk di perkotaan. Menarik dibahas bukan hanya perkara terjadinya perpindahan penduduk dari desa ke kota, tetapi juga fenomena turunan lainnya seperti tradisi mudik massal saat lebaran oleh kebanyakan buruh di kota ke daerah asalnya di pedesaan atau kota-kota kecil lainnya.

Pada mudik lebaran tahun 2024 lalu, arus mudik dan balik diperkirakan mencapai 242 juta orang, mengalami kenaikan dari angka 123,8 juta orang pada tahun 2023 (Antara News, 2024; Savitri, 2024). Kementerian Perhubungan mencatat, pemilihan penggunaan moda transportasi untuk mudik lebaran meliputi kereta api sebesar 20,3%, bus 19,4%, mobil pribadi 18,3%, dan sepeda motor sebesar 16,07%, lalu sisanya moda transportasi lainnya (Kemenhub, 2024). Sebuah komposisi padat yang mengiringi mobilisasi massal saat mudik lebaran berlangsung.

 

Keluh Kesah Para Pemudik

Menggunakan kendaraan pribadi menjadi opsi karena biaya mahal moda transportasi lainnya seperti bus atau pesawat yang bebas macet. Abdul, misalnya, bersama istri dan anaknya lebih memilih menggunakan sepeda motor dibanding bus karena tiket mahal untuk berangkat dari Tangerang menuju ke kampung halamannya di Pemalang, Jawa Tengah.

“Mahal tiket bus kemarin Rp 400.000,” ujarnya, “padahal normalnya Rp 130.000…(Naik motor) takut, tapi bismillah yang penting sampai” (Puspitasari, 2024).

Pertimbangan lainnya yang muncul yaitu fleksibilitas.

“Kami memilih sepeda motor untuk menghindari kemacetan, bebas memilih tempat istirahat…,” ujar Alamsyah, seorang pedagang perlengkapan sekolah yang mudik bersama istri dan anaknya dari Depok ke Tasikmalaya (Kristian, 2024).

Meskipun murah dan fleksibel, kedua keluarga itu lebih memilih melesatkan kendaraan roda duanya di atas aspal yang jaraknya bisa ratusan kilometer antara tempat tinggal dan bekerja dengan kampung halamannya.

Sedikit berbeda dengan pengalaman para pemudik motor, sebagian pemudik mobil justru dihadapkan tantangan kemacetan.

“Macet mulai Tol Kebun Jeruk”, ujar Avi yang terjebak macet di jalan menuju Pelabuhan Merak, “sampai petang ini kami belum bisa masuk [pelabuhan]” (Ratnaningsih, 2024).

Kisah macet lainnya juga tercatat di Tol Trans Jawa. Sebanyak 48% pemudik belum kembali saat arus balik mudik lebaran April 2024 lalu (Ato & Krisna, 2024). Tidak heran jika kemacetan terjadi di Pulau Jawa. Data menunjukkan bahwa lima daerah asal pemudik terbanyak berturut-turut dari Jawa Timur (16,17%), Jabodetabek (14,68%), Jawa Tengah (13,48%), Jawa Barat non-Bodebek (11,77%), dan Sumatera Utara (5,51%) (Savitri, 2024). Kemacetan lantas menjadi momok nyata bagi para pemudik jalur darat di Pulau Jawa karena padatnya mobilisasi pemudik di pulau tersebut saat lebaran.

Fenomena mudik lantas dilingkupi dengan tiga tantangan utama: biaya transportasi mahal, jarak kerja jauh dari kampung halaman, dan kemacetan lalu lintas. Ini menegaskan disparitas sosial antara mereka yang hanya bisa menempuh jalur darat dengan segala konsekuensinya, dan mereka yang bisa menggunakan transportasi bebas macet seperti pesawat. Disparitas sosial juga terjadi antara mereka yang memiliki penghidupan layak di kampung halaman dan mereka yang harus merantau ke kota. Solusi tidak hanya memerlukan perbaikan infrastruktur fisik, tetapi juga intervensi sosial, politik, dan budaya secara struktural.

 

Selayang Pandang Mudik Lebaran dan Para Buruh di Kota

Sejumlah ahli menegaskan bahwa ada kaitan antara tradisi mudik dengan proses urbanisasi penduduk dari desa ke kota akibat industrialisasi pada masa Orde Baru di Indonesia. Seiring dengan perkembangan industri manufaktur di kota-kota besar di Jawa pada tahun 1970, banyak buruh dari sektor pertanian di desa terserap ke industri manufaktur di kota, berturut-turut dari angka 2,7 juta hingga 4,4 juta orang dalam rentang waktu tahun 1971-1980 (Hadiz, 1997; Semedi, 2024). Secara sosial-budaya, proses pembangunan dan industrialisasi di kota itu juga ditegaskan melalui pendidikan formal, media TV, gedung-gedung mewah, makanan modern yang membentuk angan-angan bahwa bekerja di kota bisa mendatangkan kemakmuran serta transformasi menjadi manusia yang lebih modern (Warouw, 2004; Yulianto, 2011). Konsekuensinya, populasi di kota-kota besar, khususnya di Pulau Jawa, dipadati oleh para buruh.

 

Desa dan Kota yang Kurang Ramah Terhadap Buruh

Sayangnya, tidak semua beruntung mendapatkan pekerjaan formal yang layak di sektor industri. Pada tahun 2012, ILO menunjukkan bahwa ada sekitar 70 juta orang bekerja di sektor informal yang rentan, sebagian besar di antaranya berada di perkotaan (Habibi, 2014). Mereka itu disebut buruh prekariat, yang minim keahlian, pendidikan, perlindungan kerja, dan upah rendah, yang masih dominan hingga tahun 2023 karena diperparah pula dengan penerapan UU Cipta Kerja (Sanders, 2024; Utomo & Sugiharti, 2022; Yasih & Hadiz, 2023). Beruntunglah orang-orang yang berhasil mengamankan pekerjaan formal di kota. Bagi yang tidak, maka para perantau dari desa itu terpaksa bekerja di sektor informal dan menanggalkan angan-angan kemakmuran dan modernitas yang ditawarkan oleh kondisi di perkotaan.

Kini, kembali ke kampung halaman di desa pun bukan sepenuhnya pilihan yang tepat bagi para buruh prekariat tersebut, khususnya bagi para generasi muda. Di pedesaan, kondisi ini diperparah oleh infrastruktur buruk untuk pertanian skala kecil, terbatasnya akses lahan akibat perampasan oleh negara atau perusahaan untuk proyek strategis dan perkebunan besar, ketimpangan sosial, politik, dan ekonomi antar kelas sosial di pedesaan, serta penerapan UU Cipta Kerja yang menciptakan buruh kasual tanpa kepastian upah dan perlindungan kesejahteraan (Habibi, 2021; Li, 2009, 2011; Ngadi, dkk., 2023; White, 2012b). Sebuah kondisi yang membatasi untuk kembali mencari penghidupan di kampung halaman, selain karena harus menanggung malu karena gagal merantau di kota.

 

Menuju Desa dan Kota yang Ramah Buruh

Melalui paparan-paparan di atas, kita telah memahami bahwa fenomena mudik menyimpan berbagai permasalahan sosial. Angan-angan kemakmuran industrialisasi di kota yang sebenarnya tidak terdistribusi secara merata berhasil menarik berbagai buruh dari desa. Hal itu diiringi pula dengan kondisi di pedesaan yang tidak ramah terhadap buruh tani atau warga dengan kelas sosial-ekonomi rendah. Bagi mereka yang tidak beruntung, maka mereka terpaksa menggantungkan nasibnya untuk bekerja di kota yang sangat jauh jaraknya dari kampung halaman walaupun dengan kondisi rentan. Mudik lantas menjadi salah satu cara untuk sejenak meringankan kerasnya beban kerja di kota dengan berkumpul bersama keluarga di kampung halaman (Nurchayati, dkk., 2023; Habibi, 2019).

Bukan hanya persoalan infrastruktur, dampak-dampak seperti kemacetan, jarak tempuh mudik yang jauh, serta mahalnya biaya transportasi merupakan konsekuensi dari terpusatnya pembangunan ekonomi yang hanya terletak di perkotaan. Berdasarkan apa yang telah dipaparkan sebelumnya, maka perlu transformasi politik dan ekonomi terhadap struktur kerja di pedesaan agar bisa membawa kemakmuran kepada penduduk yang besar dan tinggal selain di kota-kota besar. Pendekatan sosial dan budaya melalui pendidikan dan media alternatif juga diperlukan agar penduduk yang besar dan tinggal bukan di kota-kota besar memiliki keinginan sekaligus keahlian kerja di bidang primer seperti pertanian. Apabila perombakan pada aspek-aspek pembangunan yang non-fisik itu kurang disentuh, maka perkotaan hanya akan menjadi angan-angan semu kemakmuran yang tampak seperti air di padang tandus, padahal hanya fatamorgana semata. Konsekuensinya, tradisi mudik massal yang tidak berkelanjutan dan berkeadilan secara sosial, ekonomi, politik, dan budaya akan dipertahankan tanpa menimbang dampak-dampaknya bagi kualitas wilayah serta penduduk di perkotaan atau pedesaan. (MHH)

 

Referensi

Antara News. (2024). Menhub Ungkap Pergerakan Selama Lebaran 2024 Capai 242 Juta Orang. detikNews. https://news.detik.com/berita/d-7300689/menhub-ungkap-pergerakan-selama-lebaran-2024-capai-242-juta-orang

Ato, S., & Krisna, A. (2024). Macet Belasan Jam Warnai Arus Balik Lebaran 2024. Kompas.id. https://www.kompas.id/baca/metro/2024/04/15/macet-belasan-jam-warnai-arus-balik-lebaran-2024

Habibi, M. (2014). The Development of Relative Surplus Population in the Peripheral Accumulation: Political Economy of Agricultural Development and Industrialization in Indonesia [Tesis Master]. Agrarian and Environmental Studies, Erasmus University Rotterdam.

Habibi, M. (2019). Bogus redemption. Inside Indonesia. https://www.insideindonesia.org/archive/articles/bogus-redemption

Habibi, M. (2021). Masters of the countryside and their enemies: Class dynamics of agrarian changes in rural Java. Journal of Agrarian Change, 1-27. 10.1111/joac.12433

Hadiz, V. R. (1997). Workers and the State in New Order Indonesia. Routledge.

Kementerian Perhubungan Republik Indonesia (Kemenhub). (2024). Potensi Pergerakan Masyarakat Selama Lebaran 2024 Mencapai 193,6 juta Orang, Pemerintah Terapkan Kebijakan Efektif Untuk Antisipasi Kementerian Perhubungan Republik Indonesia. Kementerian Perhubungan. https://dephub.go.id/post/read/potensi-pergerakan-masyarakat-selama-lebaran-2024-mencapai-193,6-juta-orang,-pemerintah-terapkan-kebijakan-efektif-untuk-antisipasi

Kristian. (2024). Cerita Pemudik asal Depok yang Pertama Kali Mudik Pakai Motor Bawa Anak ke Tasikmalaya. iNews Tasikmalaya. https://tasikmalaya.inews.id/read/428798/cerita-pemudik-asal-depok-yang-pertama-kali-mudik-pakai-motor-bawa-anak-ke-tasikmalaya/2

Li, T. M. (2009). To Make Live or Let Die? Rural Dispossession and the Protection of Surplus Populations. Antipode, 41(S1), 66-93. doi: 10.1111/j.1467-8330.2009.00717.x

Ngadi, N., Zaelany, A. A., Latifa, A., Harfina, D., Asiati, D., Setiawan, B., Ibnu, F., Triyono, T., & Rajagukguk, Z. (2024). The Omnibus Law on Job Creation and its potential implications for rural youth and future farming in Indonesia. Asia Pacific Viewpoint, 65(2), 248-262. doi:10.1111/apv.12408

Nurchayati, Anggara, O. F., & Karsono, S. (2023). “Even Salmon Go Upstream, Back to Their Birthplace”: A Psychogeography of Mudik, the Indonesian-Muslim Mass Seasonal Migration. 동남아시아연구, 33(2), 75-114. 10.21652/kaseas.33.2.202305.75

Puspitasari, D. (2024). Cerita Pemudik Pilih Naik Motor Tangerang-Pemalang karena Tiket Bus Mahal. detikNews. https://news.detik.com/berita/d-7281295/cerita-pemudik-pilih-naik-motor-tangerang-pemalang-karena-tiket-bus-mahal

Ratnaningsih, E. (2024). id – Kisah 17 Jam Terjebak Kemacetan Menuju Pelabuhan Merak. RRI. https://rri.co.id/mudik-2024/628029/kisah-17-jam-terjebak-kemacetan-menuju-pelabuhan-merak

Sanders, A., Khatarina, J., Assegaf, R., Toumbourou, T., Kurniasih, H., & Suwarso, R. (2024). The Omnibus Law on Job Creation and its potential implications for rural youth and future farming in Indonesia. Asia Pacific Viewpoint, 65(2), 248-262. doi:10.1111/apv.12408

Savitri, D. (2024). Mudik Lebaran 2024 Diproyeksikan Jadi yang Termeriah Sepanjang Sejarah RI. detikcom. https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-7283746/mudik-lebaran-2024-diproyeksikan-jadi-yang-termeriah-sepanjang-sejarah-ri

Semedi, P. (2024). Out of Agriculture: The 1850s – 2010s Java and Southern Germany Compared. Lembaran Antropologi, 3(1), 87-98. https://doi.org/10.22146/la.16065

Utomo, O. P., & Sugiharti, L. (2022). Characteristics and Determinants of Precarious Employment in Indonesia. Media Trend, 17(2), 608-619. http://dx.doi.org/10.21107/mediatrend.v17i1.17015

Warouw, J. N. (2004). Assuming Modernity: Migrant Industrial Workers in Tangerang, Indonesia [Disertasi]. Research School of Pacific and Asian Studies, The Australian National University.

White, B. (2012). Indonesian rural youth transitions: employment, mobility and the future of agriculture. In Land, Livelihood, The Economy and Environment in Indonesia (pp. 243-263). Yayasan Pustaka Obor Indonesia.

Yasih, D. W. P., & Hadiz, V. (2023). How Neoliberalism and Islamism Shape the Precarity of Gig Workers. International Institute for Asian Studies. https://www.iias.asia/the-newsletter/article/how-neoliberalism-and-islamism-shape-precarity-gig-workers

Yulianto, V. I. (2011). Is the Past Another Country? A Case Study of Rural-Urban Affinity on Mudik Lebaran in Central Java. Journal of Indonesian Social Sciences & Humanities, 4, 49-66.