Sirkuit Internasional Mandalika, yang diresmikan pada 12 November 2021, seharusnya menjadi simbol kebanggaan bagi Indonesia dalam sektor pariwisata berbasis olahraga. Proyek ini dikembangkan oleh Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC) yang bertujuan untuk meningkatkan sektor pariwisata serta mendongkrak ekonomi lokal dengan anggaran sebesar Rp8,9 triliun. Hingga tahun 2023, event MotoGP berhasil mendongkrak PDB nasional sebesar Rp3,59 triliun sampai Rp4,30 triliun. Bahkan, aktivitas ekonomi di Kabupaten Lombok Tengah, sebagai lokasi penyelenggaraan event, meningkat dengan kontribusi terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) sebesar 7,97%. Namun, di balik gemerlapnya sirkuit ini, terdapat konflik yang menyinggung hak asasi manusia, khususnya terkait pelanggaran hak masyarakat adat setempat. Sengketa lahan yang masih belum terselesaikan sepenuhnya kembali tersorot dengan hanya 61 keluarga dari total keluarga terdampak yang dipindahkan ke perumahan permanen bahkan hingga MotoGP pertama kali dilakukan. Lalu, apakah adanya sirkuit ini menjadi generator pertumbuhan ekonomi atau justru bentuk pengabaian hak masyarakat adat di Indonesia?
Konflik Pembebasan Lahan dan Masyarakat Sasak
Sejak awal perencanaan pembangunan pada tahun 2016, proses pembebasan lahan untuk proyek Sirkuit Mandalika sudah menghadapi tantangan besar. Lahan yang menjadi bagian dari kawasan Mandalika meliputi tanah-tanah masyarakat adat Sasak yang telah diwariskan secara turun-temurun. Proses pembebasan lahan yang seharusnya dilakukan secara adil dan transparan justru menjadi sumber konflik. Masyarakat adat Sasak yang menempati wilayah ini merasa hak mereka dilanggar akibat tidak adanya konsultasi yang menyeluruh dan inklusif. Kebanyakan dari mereka tidak memahami bahasa Indonesia, bahasa yang digunakan dalam proses sosialisasi proyek. Hal ini membuat mereka tidak sepenuhnya memahami kesepakatan yang ditawarkan. Lebih jauh lagi, kompensasi yang ditawarkan sering kali tidak sesuai dengan nilai lahan dan kehilangan mata pencaharian yang dialami masyarakat akibat pengalihan fungsi lahan.
Penggusuran Paksa dan Intimidasi
Proses pembangunan Sirkuit Mandalika diwarnai dengan penggusuran paksa yang menimpa masyarakat adat. Warga yang menolak untuk menjual tanah mereka dengan harga yang telah ditentukan oleh pemerintah dan ITDC terpaksa menghadapi tekanan hukum, intimidasi, dan bahkan pengusiran paksa. Aparat kepolisian dan militer dilibatkan dalam proses pembebasan lahan, memaksa warga meninggalkan tanah mereka tanpa pilihan yang adil.
Dalam banyak kasus, warga tidak diberikan kesempatan untuk bernegosiasi, dan pengadilan memutuskan penetapan harga tanah yang lebih rendah dari nilai yang diharapkan oleh masyarakat. Dampaknya, banyak keluarga yang terpaksa menjadi tunawisma hingga lebih dari 100 keluarga pun akhirnya tinggal di sekitar lokasi konstruksi, hidup dalam kondisi yang tidak layak. Mereka kehilangan akses terhadap tanah yang menjadi sumber mata pencaharian utama sebagai petani atau nelayan.
Penyalahgunaan Kawasan Lindung dan Pelanggaran Hak Asasi Manusia
Selain konflik pembebasan lahan, terdapat indikasi pelanggaran lain yang berkaitan dengan penyalahgunaan lahan kawasan lindung untuk pembangunan proyek. Masyarakat Sasak yang sebagian besar menggantungkan hidup dari sektor agraris dan sumber daya alam di sekitarnya kini terpaksa kehilangan akses terhadap lahan produktif dan laut, yang dahulu menjadi bagian penting dalam kehidupan mereka.
Penggusuran ini tidak hanya menyebabkan hilangnya hak atas tanah, tetapi juga mengancam keberlangsungan kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat. Dampak negatif pembangunan sirkuit ini diperburuk dengan terjadinya polusi udara dan gangguan lingkungan akibat pembangunan jalan dan infrastruktur lainnya di sekitar Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Mandalika.
Kegagalan Memenuhi Prinsip Pembangunan Berkelanjutan
Salah satu ironi terbesar dari proyek Mandalika adalah ketidaksesuaian antara prinsip awal pembangunan dengan realitas yang dihadapi masyarakat. Proyek yang seharusnya mendukung keberlanjutan ekonomi dan lingkungan justru menyebabkan kerugian bagi masyarakat lokal. Pembangunan sirkuit mengorbankan masyarakat adat yang seharusnya menjadi bagian dari proses pembangunan tersebut. Keterlibatan Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) sebagai pihak yang memberikan pendanaan juga menambah kontroversi. Dalam proses pembangunan, AIIB tidak secara tegas menegakkan Kerangka Kerja Lingkungan dan Sosial yang seharusnya melindungi hak-hak masyarakat terdampak. Bahkan, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui Dewan Hak Asasi Manusia menuntut penghentian proyek dan meminta pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM yang terjadi.
Pembangunan Sirkuit Mandalika merupakan contoh nyata dari bagaimana ambisi ekonomi dapat mengabaikan hak-hak masyarakat, khususnya masyarakat adat yang rentan. Proyek ini memunculkan banyak masalah, mulai dari pelanggaran hak tanah, penggusuran paksa, hingga kegagalan melibatkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Masyarakat adat Sasak yang telah lama hidup di tanah mereka kini kehilangan tempat tinggal, mata pencaharian, dan akses terhadap pendidikan serta kesehatan. Sementara itu, janji pembangunan berkelanjutan yang mendukung kesejahteraan masyarakat lokal hanya menjadi narasi kosong yang tak terwujud. Kasus ini menjadi pengingat penting bahwa pembangunan ekonomi seharusnya tidak dilakukan dengan mengorbankan hak-hak asasi manusia, terutama bagi komunitas adat yang telah lama menjadi bagian integral dari wilayah tersebut. (KQZ)
Referensi
Arifa, Siti. (2021). Jalan Damai Pengelola Sirkuit Mandalika dan Relokasi Mandiri Masyarakat Sekitar. Good News From Indonesia. Diakses dari goodnewsfromindonesia.id
BBC News Indonesia. (2021). Mandalika: Pembangunan proyek termasuk sirkuit dituding melanggar HAM, “Hak belum dipenuhi tapi pembangunan jalan terus, ini pemaksaan.” BBC News Indonesia. Diakses dari bbc.com
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. (2024). Dampak Event Penyelenggaraan MotoGP Mandalika 2023. Diakses dari tasransel.kemenparekraf.go.id
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia. (2021). KEK Mandalika Wajib Berstandar HAM. Diakses dari komnasham.go.id
Rakhman, Fathul. (2024). Cerita dari Sirkuit Mandalika: Persoalan Lahan Belum Selesai, Warga Terjerat Hukum. Mongabay Situs Berita Lingkungan. Diakses dari mongabay.co.id