Sampai saat ini, kelapa sawit masih menjadi salah satu komoditas perkebunan yang menguntungkan di Indonesia. Data antara tahun 2016 hingga 2022 menunjukkan peningkatan luas areal lahan sawit hingga 15,4 juta hektar; jumlah produksi mencapai 48,2 juta ton; dan produktivitas rata-rata hingga 3903 Kg/Ha (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2022). Berkembang menjadi kuantitas yang sedemikian besar, tingkat perekonomian dari produksi sawit juga meningkat. Salah satu hasil penelusuran Semedi (2014) menunjukkan ketika harga jual berada di angka Rp 1.400/kg pada tahun 2010-2011, sebuah desa di Pulau Kalimantan bisa mendapatkan keuntungan sekitar 26-39 miliar rupiah per bulan dari hasil produksi 20-30 ribu ton buah segar per bulan. Pada tahun 2022, harga jual sawit itu meningkat stabil di angka rata-rata Rp 2.000/kg. Data-data ini sekilas mengindikasikan bagaimana hasil produksi dari perkebunan kelapa sawit mendatangkan penghasilan ekonomi yang cukup tinggi ke daerah-daerah pedesaan.
Meskipun demikian, kemakmuran ekonomi itu tidak hadir tanpa konsekuensi yang harus dibayar. Salah satu yang disorot di dalam tulisan ini yaitu konsekuensi berupa peningkatan konsumsi minuman beralkohol hingga melebihi batas wajar di kalangan petani atau penduduk pedesaan di perkebunan kelapa sawit.
Tuak dan Pertanian Padi
Di kalangan Suku Dayak di Pulau Kalimantan memang memiliki kebiasaan meminum minuman tradisional beralkohol seperti tuak. Namun, konsumsi tuak biasanya hanya dilakukan pada perayaan-perayaan komunal tertentu misalnya ketika pesta panen, pernikahan, atau ritual adat (Rahmadian, 2024). Pola produksi tuak juga mengikuti satu proses panjang pengolahan bahan baku berupa beras dari tanaman padi yang mereka tanam. Dalam hal ini, produksi dan konsumsi tuak sangat berkaitan erat dengan identitas masyarakat Dayak sebagai petani subsisten yang memproduksi kebutuhan makanannya sehari-hari dari padi (Provinse, 1937; Alexander dan Alexander, 1995). Dengan demikian, tuak sebagai minuman tradisional beralkohol memiliki apresiasi yang tinggi bagi orang Dayak karena melibatkan ritual-ritual tertentu baik dalam proses produksi maupun konsumsinya.
Seiring berkembangnya waktu, posisi masyarakat Dayak sebagai petani padi subsisten mulai bergeser. Kira-kira pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20, tekanan pasar global memungkinkan Pulau Kalimantan menjadi salah satu wilayah yang memproduksi komoditas tanaman pasar seperti tembakau, karet, dan lada (Cleary, 1996; Dove, 1993; Semedi dan Bakker, 2014). Pada periode yang berdekatan dengan lonjakan permintaan pasar karet global, minyak kelapa sawit lantas menjadi salah satu komoditas tanaman ekspor skala global. Di Provinsi Kalimantan Barat, perusahaan perkebunan kelapa sawit pertama kali berdiri pada sekitar tahun 1980-an di Kabupaten Sanggau dan mulai masuk pula ke wilayah Sungai Buayan pada awal tahun 1990an (Semedi, 2014; de Vos, 2016:16). Pada awal tahun 1980-an, PT. Perkebunan Nusantara XII mendapatkan konsesi lahan seluas 5700 hektar dari lahan pemerintah untuk mendirikan perkebunan sawit. De Vos (2016) mencatat bahwa ekspansi perkebunan kelapa sawit di Pulau Kalimantan mengancam keberadaan lahan perhutanan dan pertanian padi masyarakat lokal, lantas mengubah mereka menjadi pekerja-pekerja perkebunan.
Arak dan Perkebunan Kelapa Sawit
Perubahan masyarakat Dayak dari petani subsisten menjadi pekerja di perkebunan membuat mereka menikmati keuntungan-keuntungan ekonomi dari hasil penjualan sawit. Selain itu, mereka kini juga merasakan dampak pembangunan infrastruktur seperti jalan raya seiring ekspansi industri sawit. Kedua hal itu lantas menjadi pendorong utama perubahan pola konsumsi minuman beralkohol di kalangan masyarakat lokal menjadi berlebihan. Ditambah lagi, pola kerja yang cukup keras di perkebunan membuat mereka seringkali butuh asupan minuman beralkohol untuk meredakan lelah.
Minuman-minuman itu kini dapat dengan mudah dibeli karena adanya akses jalan. Daripada harus menunggu saat-saat tertentu agar bisa menikmati minuman beralkohol seperti tuak, mereka menggunakan pendapatan bekerja di perkebunan untuk membeli minuman-minuman beralkohol seperti arak dengan mudah. Rahmadian (2024) mendokumentasikan bagaimana perubahan konsumsi minuman beralkohol dari tuak menjadi arak itu telah memicu tren peningkatan intensitas konsumsi, sehingga berdampak pada kesehatan masyarakat lokal. Tren kenaikan konsumsi alkohol juga tercatat di perkebunan sawit lainnya seperti di di Malaysia (Saili & Saili, 2013) dan di Papua (Down To Earth, 2014). Pada kasus di Papua, peningkatan konsumsi alkohol itu bahkan hingga menimbulkan kekerasan domestik antara para pekerja perkebunan laki-laki terhadap istrinya di rumah. Pada titik ini, minuman beralkohol tidak lagi dikonsumsi pada kegiatan-kegiatan khusus yang memiliki apresiasi tinggi karena mengandung nilai sosial-budaya, melainkan sebagai barang konsumtif yang sering diminum sebagai pelepas penat setelah bekerja dan menimbulkan dampak negatif baik secara kesehatan maupun sosial.
Menuju Kemakmuran di Pedesaan yang Terarah dan Produktif
Dalam rangka mewujudkan pembangunan desa yang memberdayakan masyarakat lokal, perkara konsumsi alkohol berlebihan ini perlu menjadi perhatian. Semedi (2014) menengarai bahwa salah satu penyebab penyalahgunaan minuman beralkohol berlebihan itu berkaitan dengan peningkatan pendapatan ekonomi, tetapi tidak dibarengi dengan pengetahuan pengelolaan uang yang baik. Surplus ekonomi yang sedemikian tinggi memberikan rasa bingung kepada masyarakat lokal perihal akan digunakan untuk apa uang-uang sebanyak itu. Dengan demikian, perkembangan ekonomi di daerah-daerah pedesaan perlu diintegrasikan dengan program pemberdayaan masyarakat agar mereka dapat mengelola dan menggunakan keuangannya kepada kegiatan-kegiatan yang produktif, bukan konsumtif. (MHH)
Referensi
Alexander, J., & Alexander, P. (1995). Commodification and Consumption in a Central Borneo Community. Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde, 2de Afl, 179-193.
Cleary, M. C. (1996). Indigenous Trade and European Economic Intervention in North-West Borneo c.1860-1930. Modern Asian Studies, 30(2), 301-324.
de Vos, R. E. (2016). Multi-functional Lands Facing Oil Palm Monocultures: A Case Study of a Land Conflict in West Kalimantan, Indonesia. ASEAS-Austrian Journal of South-East Asian Studies, 9(1), 11-32.
Direktorat Jenderal Perkebunan Kementrian Pertanian Republik Indonesia. (2022). Statistik Perkebunan Unggulan Nasional. Sekretariat Direktorat Jenderal, Direktorat Jenderal Perkebunan, Kementrian Pertanian.
Dove, M. R. (1993). Smallholder Rubber and Swidden Agriculture in Borneo: A Sustainable Adaptation to the Ecology and Economy of the Tropical Forest. Economic Botany, 136-147.
Down To Earth. (2014). Women and oil palm in an investmen region: A view from Suskun Village, Papua. Fair enough? Women, men, communities and ecological justice in Indonesia, 99-100, 10-12.
Provinse, J. H. (1937). Cooperative Ricefield Cultivation among the Siang Dyaks of Central Borneo. American Anthropologist, 39(1), 77-102.
Rahmadian, G. (2024). Wandering Under the Oil Palm Canopy: Shifting Alcohol Use in the Aftermath of Oil Palm Cultivation, West Kalimantan, Indonesia. Bijdragen tot de taal-, land-en volkenkunde, 180, 242-273. 10.1163/22134379-bja10061
Saili, A. R., & Saili, J. (2013). Working With Plantation Communities: A Reflection of Social Issues. Journal of Educational, Health and Community Psychology, 2(1), 1-10.
Semedi, P. (2014). Palm Oil Wealth and Rumour Panics in West Kalimantan. Forum for Development Studies, 41(2), 233-252.
Semedi, P., & Bakker, L. (2014). Between Land Grabbing and Farmers’ Benefits: Land Transfer in West Kalimantan, Indonesia. The Asia Pacific Journal of Anthropology, 15(4), 376-390.