Musik jazz seringkali diasosiasikan dengan gaya hidup kelas atas di kota besar yang elegan, mewah, dan mahal. Pandangan tersebut muncul dari penyelenggaraan musik jazz di ruang-ruang mewah seperti bar, hotel, atau restoran bintang lima di kota-kota besar misalnya di Jakarta dan Bali (Arianti, 2023; What’s New Indonesia, 2024). Tidak hanya itu, beberapa orang lainnya akrab dengan format musik jazz di festival besar yang menampilkan rentetan musisi bintang kelas atas. Festival jazz besar di Indonesia pada tahun 2024, sebut saja seperti Java Jazz dan Prambanan Jazz, mematok harga tiket yang cukup tinggi, berkisar antara Rp 250.000 per hari hingga yang paling mahal sekitar Rp 2.250.000 (Anwar, 2024; Budiarti, 2024; Birru & Rusiana, 2024). Harga tiket yang tinggi itu tidak hanya menunjukkan eksklusivitas acara, tetapi juga membatasi aksesnya hanya untuk kalangan yang mampu secara ekonomi, mengukuhkan citra jazz sebagai musik elit yang sulit dijangkau oleh masyarakat umum.
Kondisi ini menyoroti ketimpangan sosial-ekonomi di kota-kota besar, di mana akses terhadap budaya dan hiburan sering kali hanya tersedia bagi mereka yang mampu membayar. Di Jakarta, misalnya, data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pada bulan Maret 2024, sekitar 4,30% penduduk kota (sebesar 464,93 ribu orang) hidup di bawah garis kemiskinan, yang secara ekonomi tidak mungkin mengakses hiburan seperti festival jazz. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai inklusivitas kota, yang seharusnya menyediakan ruang bagi semua lapisan masyarakat untuk menikmati hiburan dan budaya tanpa adanya hambatan ekonomi.
Harapan akan sebuah kota yang lebih inklusif masih dapat kita lihat dari berbagai inisiatif yang muncul di berbagai daerah. Salah satunya adalah pentas komunitas musik jazz di Kota Yogyakarta yang menunjukkan bahwa musik ini tidak hanya sekadar hiburan elit, tetapi juga dapat menjadi wadah bagi masyarakat untuk berkumpul dan berkreasi. Dengan menelusuri riwayat perkembangan musik jazz secara umum lalu dikaitkan dengan salah satu pentas di Kota Yogyakarta itu, kita dapat memahami bahwa ruang di kota bisa merepresentasikan inklusivitas dengan musik jazz sebagai benang merahnya.
Selayang Pandang Perkembangan Musik Jazz
Perkembangan musik jazz berkaitan dengan riwayat kolonialisme dan perbudakan. Sejalan dengan perkembangan industri tambang perak dan perkebunan di Benua Amerika, sekitar 275.000 budak dari Afrika dikirim ke Amerika dan Eropa antara tahun 1451 dan 1600, dengan puncaknya mencapai hingga 80% dari seluruh budak tiba di Benua Amerika antara tahun 1701 dan 1850 (Wolf, 2010). Para budak itu selanjutnya menjadi pekerja di perkebunan milik tuan-tuan tanahnya.
Kondisi kerja sebagai budak di perkebunan sangat keras sampai tingkat kematian para budak semasa itu begitu tinggi. Di tengah-tengah kondisi yang buruk itu, musik merupakan sarana yang membantu para budak melewati masa-masa sulit (Collier, 1979). Praktik bermusik di kalangan budak semakin sering dilakukan, sampai pada sekitar tahun 1890-an, muncul berbagai “lagu dan jogetan khas perkebunan” yang diiringi instrumen musik seperti biola, banjo, string bass, trompet, dan beberapa perkusi (Southern, 1989). Lagu-lagu dan jogetan perkebunan itu lantas berkembang menjadi genre musik seperti ragtime dan blues, lalu keduanya berkontribusi besar dalam pembentukan musik jazz (DeVeaux, 1991; Hobson, 2011; Levine, 1989).
Meskipun lagu dan jogetan perkebunan telah berkembang seiring dengan surutnya praktik perbudakan di perkebunan, musik jazz sebagai buah perkembangannya masih tetap dinikmati oleh kalangan menengah ke bawah di perkotaan. Di pusat perkembangannya di Kota New Orleans, Amerika Serikat, sejarawan musik jazz Collier (1979) mencatat bahwa hingga Perang Dunia I, penonton musik jazz masih didominasi oleh kalangan kelas pekerja miskin berkulit hitam. Seiring berkembangnya waktu, mulai tahun 1940, musik jazz dikenal di penjuru dunia dan lantas dikomersialkan sebagai pertunjukan musik yang menguntungkan (Ibid.) karena mendatangkan banyak penonton, terutama dari kalangan kelas atas.
Dari sekilas riwayat tersebut, jelas kiranya bahwa mulanya musik jazz berkembang sebagai musik rakyat kecil yang inklusif. Akses terhadap musik jazz yang semakin eksklusif, baru dimulai belakangan manakala pentas-pentasnya mulai dikomersialkan. Sebuah upaya yang mencabut akar perkembangan musik jazz dari musik rakyat kecil menjadi musik kelas atas.
Representasi Ruang Inklusif Melalui Pentas Jazz
Dewasa ini, Kota Yogyakarta serupa pula dengan kota-kota besar di dunia yang menawarkan berbagai acara hiburan komersial. Di tengah-tengah masifnya komersialisasi acara hiburan di Yogyakarta itu, terdapat sebuah komunitas musik bernama Jazz Mben Senen yang menawarkan pentas musik jazz gratis setiap hari Senin malam. Kehadiran Jazz Mben Senen benar-benar mengembalikan representasi musik jazz sebagai musik rakyat kecil yang bisa dinikmati oleh siapa saja tanpa harus mengeluarkan uang.

Pengunjung bertepuk tangan selepas para pemusik menyelesaikan sebuah lagu. Sumber: Dokumentasi pribadi penulis, 2024.
Lebih-lebih, representasi musik jazz semacam itu menarik manakala ia bertempat di kota. Hal itu mengindikasikan bahwa komunitas-komunitas di perkotaan tidak selamanya memandang kota sebagai arena penciptaan keuntungan komersial. Di Jazz Mben Senen, pengunjung duduk melingkar mengelilingi pemusik, menciptakan suasana intim dan inklusif baik antara pengunjung dengan pemusik, maupun antar pengunjung. Para pemusik pun bisa siapa saja yang ingin menunjukkan keahliannya selama yang dimainkan adalah musik jazz. Pengunjung dan pemusik sama-sama gembira. Mereka menikmati sajian musik jazz berkelas tanpa harus memusingkan siapa yang untung atau rugi secara ekonomi.
Epilog
Melalui tulisan ini, ada setidaknya dua hal penting yang bisa dijadikan pelajaran. Pertama, sajian musik jazz yang berkelas tidak hanya bisa dinikmati dalam setting ruang mewah dan mahal. Apa yang kita anggap normal bahwa kini jazz merupakan musik orang-orang kelas atas merupakan klaim ahistoris. Hal itu mengabaikan perkembangan historis musik jazz sebagai bagian dari musik rakyat kecil. Terakhir, keberadaan pentas musik jazz gratis di perkotaan seperti Jazz Mben Senen bisa menjadi panggung yang menantang paradigma komersialisasi ruang-ruang di perkotaan. Pada tahapan yang lebih lanjut, kegiatan-kegiatan inklusif oleh komunitas seperti ini perlu disinergikan dengan rencana pembangunan dan pemberdayaan sosial di perkotaan. Dengan begitu, kehidupan bermasyarakat di perkotaan tidak didikte oleh perhitungan ekonomi untung-rugi semata, tetapi juga fokus pada aspek sosial-budaya yang menjadikan kota sebagai ruang inklusif dan berkelanjutan bagi siapa saja. (MHH)