Seiring berkembangnya peradaban dan pertumbuhan penduduk, semakin banyak manusia yang hidup memadati daerah-daerah perkotaan di seluruh dunia. Pada tahun 2023, ada sekitar 4,4 miliar penduduk dunia yang tinggal di perkotaan atau mencapai angka 56% dari total populasi dunia, dan diperkirakan akan terus mengalami kenaikan (World Bank, 2023). Apabila diakumulasi, seluruh aktivitas manusia di perkotaan telah menyumbang lebih dari 70% emisi karbon dioksida dunia (Dasgupta, Lall, & Wheeler, 2022; UNEP, 2022). Lebih spesifik lagi, meningkatnya pertumbuhan penduduk bersamaan dengan banyaknya penggunaan bangunan di perkotaan juga mendorong pertambahan konsumsi energi bangunan sebesar 1,2% per tahun sejak tahun 2000 (González-Torres, dkk., 2022). Kenyataan itu mengindikasikan suatu tantangan besar lantaran kepadatan penduduk di kota memicu kebutuhan akan banyak gedung, terutama tempat tinggal, yang lantas berdampak pada semakin parahnya situasi ekologis berkaitan dengan penggunaan energi di perkotaan.

 

Potensi

Menghadapi tantangan tersebut, berbagai upaya telah dilakukan untuk menekan emisi karbon dan konsumsi energi berlebihan pada bangunan di kota, khususnya pemukiman. Sejumlah studi menyoroti pentingnya pembangunan dengan konsep bangunan hijau menggunakan bahan-bahan konstruksi serta teknologi inovatif yang ramah lingkungan untuk mewujudkan kota berkelanjutan (Bachurinskaya, 2020; Sinha, dkk., 2012). Di dalam konteks yang lebih spesifik seperti pembangunan tempat tinggal/pemukiman, negara-negara maju seperti China, Swiss, Rusia, dan Jerman telah mengintegrasikan teknologi hijau ke dalam konsep pembangunan ramah lingkungan untuk menekan konsumsi energi berlebihan (Bachurinskaya, 2020; Fastenrath, 2015; Salvi & Syz, 2011; Zhang, dkk., 2018). Seperti yang berkali-kali ditegaskan dalam studi-studi tersebut, penggunaan teknologi hijau di dalam pembangunan pemukiman berkontribusi positif pada keberlanjutan lingkungan di perkotaan.

Tantangan

Sekilas, teknologi hijau tersebut menjadi satu solusi ampuh dalam mewujudkan kota yang berkelanjutan, khususnya pemukiman. Namun, solusi yang hanya terfokus pada aspek teknis akan berpotensi mengabaikan tantangan fundamental dari penerapan teknologi hijau. Sejumlah penelitian mengungkapkan perhatiannya pada biaya yang cukup besar untuk merealisasikan pembangunan ramah lingkungan dengan teknologi hijau tersebut (Dwaikat & Ali, 2016; Ge, dkk., 2020; Salvi & Syz, 2011). Konsekuensinya, hanya penduduk kalangan atas saja yang berkesempatan besar merasakan tinggal di pemukiman “ramah lingkungan” tersebut. Mengambil satu contoh di Kota Freiburg, Jerman yang didaulat sebagai kota hijau dengan pembangunan pemukiman ramah lingkungannya, beberapa penelitian memperlihatkan bahwa pembangunan semacam itu berpotensi besar menciptakan ketimpangan sosial, ekonomi, dan spasial antara si kaya dengan si miskin di perkotaan. Mössner (2015) misalnya yang menyoroti kenaikan harga pemukiman “ramah lingkungan” di Vauban, Freiburg, setelah kota itu mempromosikan Vauban sebagai simbol kota hijau pada acara EXPO di Shanghai tahun 2010. Paparan lainnya oleh Kartika (2022) menyoroti perihal gentrifikasi atas nama pembangunan wilayah permukiman ramah lingkungan yang hanya dapat dirasakan oleh para penduduk kelas atas karena tingginya biaya sewa. Menimbang kondisi di negara maju seperti itu, barangkali menjadi tantangan yang sangat besar apabila akan diterapkan di negara berkembang seperti Indonesia, sehingga perlu pengkajian secara teliti dan mendalam.

Refleksi

Paparan di atas telah memperlihatkan kompleksitas penerapan teknologi hijau untuk mewujudkan tempat tinggal yang berkelanjutan. Pada titik ini kita perlu bertanya, keberlanjutan macam apa yang justru memproduksi ketimpangan baru di perkotaan atas nama ramah lingkungan? Berpihak pada siapa paradigma pembangunan keberlanjutan semacam ini? Memang teknologi hijau yang diintegrasikan dalam pembangunan di perkotaan, khususnya pemukiman, bisa berkontribusi positif dalam menekan konsumsi energi berlebihan dan produksi emisi karbon di perkotaan. Namun, solusi teknis itu belum sepenuhnya menyelesaikan permasalahan mendasar yang holistik. Kita perlu bertanya, jika laju urbanisasi semakin meningkat dan memicu dampak-dampak lingkungan seperti yang telah disebutkan di atas, mengapa manusia masih lebih memilih tinggal di perkotaan yang kian hari semakin padat? Jika jawabannya berkaitan dengan penawaran kemakmuran ekonomi yang ada di perkotaan, lantas mengapa daerah-daerah pinggiran atau bahkan pedesaan tidak bisa menawarkan kemakmuran yang sebanding?

Penutup

Dalam hal mewujudkan permukiman berkelanjutan, kita perlu memandang suatu kawasan baik perkotaan maupun daerah-daerah di sekitarnya mencakup pedesaan sebagai satu kesatuan holistik yang saling berhubungan. Artinya, solusi untuk mewujudkannya tidak serta merta terbatas pada solusi teknis yang diterapkan di perkotaan, tetapi juga perlu mempertimbangkan aspek lainnya seperti pemberdayaan wilayah-wilayah di sekitar perkotaan, menekan angka pertumbuhan penduduk, dan membatasi pembangunan di wilayah perkotaan. Dengan begitu, kita tidak terlena hanya pada solusi mutakhir seperti penerapan teknologi hijau dalam mewujudkan permukiman berkelanjutan, tetapi juga dapat merumuskan solusi alternatif yang holistik dan melampaui batas-batas wilayah perkotaan. (MHH)

 

Referensi

Bachurinskaya, I. A., Vasileva, N. V., Yudenko, M. N., & Nikolikhina, S. A. (2020). “Green” technologies in housing: the experience of Russia. IOP Conference Series: Materials Science and Engineering. 10.1088/1757-899X/913/4/042071

Dasgupta, S., Lall, S., & Wheeler, D. (2022, January 5). Cutting global carbon emissions: where do cities stand? World Bank Blogs. https://blogs.worldbank.org/en/sustainablecities/cutting-global-carbon-emissions-where-do-cities-stand

Dwaikat, L. N., & Ali, K. N. (2016). Green buildings cost premium: A review of empirical evidence. Energy and Buildings, 110, 396-403. https://doi.org/10.1016/j.enbuild.2015.11.021

Fastenrath, S. (2015). “Grünes” Bauen. Innovative Ansätze in Freiburg im Breisgau. Geographische Rundschau, 65(5), 16-23.

Ge, J., Zhao, Y., Luo, X., & Lin, M. (2020). Study on the suitability of green building technology for affordable housing: A case study on Zhejiang Province, China. Journal of Cleaner Production, 275, 1-16. https://doi.org/10.1016/j.jclepro.2020.122685

González-Torres, M., Pérez-Lombard, L., Coronel, J. F., Maestre, I. R., & Da Yan. (2022). A review on buildings energy information: Trends, end-uses, fuels and drivers. Energy Reports, 8, 626-637. https://doi.org/10.1016/j.egyr.2021.11.280

Kartika, I. S. (2022). Housing Greentrification within ‘The Ghetto’ District: An Ethnography of Justice Exploration in Germany’s Sustainable City [Undergraduate thesis/Skripsi]. Departemen Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Mössner, S. (2015). Urban development in Freiburg, Germany – sustainable and neoliberal? Journal of the Geographical Society of Berlin, 146(2-3), 189-193. 189-193. 10.12854/erde-146-16

Salvi, M., & Syz, J. (2011). What drives “green housing” construction? Evidence from Switzerland. Journal of Financial Economic Policy, 3(11), 86-102. http://dx.doi.org/10.1108/17576381111116777

Sinha, A., Gupta, R., & Kutnar, A. (2013). Sustainable Development and Green Buildings. Drvna industrija, 64(1), 45-53. 10.5552/drind.2013.1205

UN Environment Programme. (2022). Cities and climate change. UNEP. https://www.unep.org/explore-topics/resource-efficiency/what-we-do/cities-and-climate-change

World Bank. (2023). Urban Development Overview. World Bank. https://www.worldbank.org/en/topic/urbandevelopment/overview#1

Zhang, L., Wu, J., & Liu, H. (2018). Policies to enhance the drivers of green housing development in China. Energy Policy, 121, 225-235. https://doi.org/10.1016/j.enpol.2018.06.029