Peningkatan penduduk di kota tidak hanya memicu tantangan seperti kepadatan penduduk, tetapi juga masalah turunannya seperti sampah makanan. Sampah makanan atau food waste sendiri merujuk pada sisa makanan yang masih layak konsumsi, tetapi sudah terbuang menjadi sampah. Data global menunjukkan bahwa 30-50% dari makanan yang diproduksi secara tahunan untuk konsumsi manusia telah terbuang (Soma, 2018). Di Indonesia, perkara itu menjadi genting manakala sampah makanan di kota diproyeksikan akan naik hingga mencapai 49% antara tahun 2005 hingga 2025 (Soma, 2017a). Di tingkat yang lebih kecil, penduduk Indonesia memproduksi sampah makanan domestik tahunan rata-rata sebesar 53 kg per kapita atau total sekitar 14,7 juta ton (UNEP, 2024).
Surplus Kalori dari Makanan yang Terbuang
Data-data itu menunjukkan tren miris tentang sampah makanan, ditambah pula dengan paradoks bahwa Indonesia berada di urutan ke-17 sebagai kontributor sampah makanan global, sementara di saat yang bersamaan, menduduki posisi ke-70 dari 117 negara dengan tingkat kelaparan parah, dengan penduduk kelaparan sejumlah 22 juta orang (Kusumawardani, dkk., 2023). Apabila kita asumsikan dari 22 juta orang itu juga termasuk penduduk miskin di perkotaan, maka ada sekitar 11,64 juta orang miskin (BPS, 2024) sekaligus kelaparan di perkotaan. Selanjutnya, jika kita sepakat bahwa rata-rata konsumsi kalori harian penduduk Indonesia di kota sebesar 2.108 KKal per kapita (Angelia, 2022), maka butuh sekitar 24,5 miliar KKal untuk memenuhi kebutuhan makanan penduduk miskin dan kelaparan di perkotaan. Pada tahun 2022, ada sekitar 155 juta penduduk di perkotaan (BPS, 2022), jika dikurangi dengan jumlah penduduk miskin dan kelaparan, maka sekitar 154 miliar KKal terbuang per harinya dari sampah makanan tahunan per kapita sejumlah 53 kg.
Angka kalori yang terbuang sebagai sampah makanan itu lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk miskin dan kelaparan di kota. Namun, nyatanya jumlah penduduk kelaparan di kota masih terbilang tinggi. Dari sini kita patut berpikir kritis. Isu tentang sampah makanan bukan hanya persoalan tunggal perihal sampah yang berdampak negatif bagi lingkungan, tetapi juga menyoroti persoalan kesenjangan akses terhadap makanan. Lebih dari itu, ini juga menjadi kritik bagi industri makanan yang memproduksi berlebihan, menjadikan makanan hanya sebagai komoditas yang menguntungkan.
Industrialisasi dan Mekanisme Pasar Pemicu Kesenjangan Pangan
Penelitian Soma (2017b) di Bogor mencatat bahwa urbanisasi di Indonesia telah merenggangkan jarak yang panjang di dalam rantai produksi makanan. Itu memungkinkan makanan bisa rusak selama didistribusikan. Selain itu, menurutnya, Indonesia telah mengalami peningkatan jumlah supermarket modern pengecer makanan modern di kota sejak kebijakan investasi asing besar-besaran pada tahun 1990-an. Konsekuensinya, terjadi seleksi ketat terhadap berbagai olahan makanan yang terbuang apabila tidak memenuhi standar estetika tertentu. Persoalan selanjutnya, industri-industri itu memproduksi makanan dalam kerangka ekonomi pasar yang memandang makanan sebagai komoditas, sehingga memicu penumpukan produksi yang beberapa di antaranya juga harus dibuang ketika tidak berhasil terjual.
Pada tingkat rumah tangga, konsumsi pangan berlebihan juga memicu sisa makanan yang lantas terbuang. Soma (2017a) menemukan bahwa keluarga berada cenderung membeli makanan lebih dari cukup karena hanya mengonsumsinya sebagai keinginan, bukan kebutuhan. Apabila tidak dibuang, sisa-sisa makanan itu biasanya diberikan kepada keluarga yang lebih miskin. Alih-alih memecahkan masalah, praktik memberi sisa makanan sebagai karitas itu justru memperlebar kesenjangan sosial-ekonomi antar penduduk di Indonesia. Kesenjangan itu termanifestasi dari tingginya permintaan makanan dari keluarga kaya, sehingga pasar memasok produksi besar-besaran, tetapi pada akhirnya hanya dikonsumsi sedikit, sementara keluarga-keluarga miskin hanya menerima sisa-sisa makanan tersebut. Kondisi itu menegaskan kesenjangan sosial-ekonomi baik secara praktik maupun simbolis.
Epilog: Refleksi dari Jerman
Di Jerman, persoalan mengenai sisa makanan yang terbuang sebagai sampah itu ditanggapi secara responsif pada tingkat masyarakat. Temuan penelitian mahasiswa yakni Anggraeni (2019), melakukan Containering atau mengambil sisa makanan yang dibuang oleh supermarket ke tong sampah hanya karena dinilai tampak jelek meskipun masih layak dikonsumsi. Semedi (2022) menengarai bahwa proses mengambil sisa makanan yang terjadi di perkotaan itu merupakan adaptasi tradisi Nachlese atau mengasak sisa panen pertanian di masyarakat pedesaan Eropa sejak abad ke-19. Seiring pesatnya industrialisasi di Jerman, praktik itu dilakukan sebagai upaya bertahan hidup bagi masyarakat tidak mampu di tengah gempuran krisis pangan di perkotaan. Industrialisasi di Jerman telah merenggangkan jarak antar kelas sosial-ekonomi masyarakat lantaran distribusi kemakmuran tidak merata, sehingga perkara makan saja sulit dipenuhi. Senada dengan itu, Soma (2017a) dalam konteks Indonesia, juga menegaskan bahwa cara untuk mencegah sampah makanan bukan dengan cara memberikan sisanya kepada orang yang lebih miskin, tetapi perlu reformasi sosial secara struktural menyangkut distribusi kemakmuran, lahan, dan rantai produksi makanan yang berkelanjutan. Pada titik ini, peran negara harus lebih besar dalam mengatur praktik produksi berlebihan dari tekanan pasar dan industri untuk memitigasi kemunculan sampah makanan demi akses pangan yang berkeadilan di perkotaan. (MHH)
Referensi
Angelia, D. (2022, January 25). Membedah Jumlah Konsumsi Kalori Masyarakat Indonesia. Good News From Indonesia. https://www.goodnewsfromindonesia.id/2022/01/25/membedah-jumlah-konsumsi-kalori-masyarakat-indonesia
Anggraeni, N. V. (2019). Containern: Pemburu dan Peramu Urban di Freiburg, Jerman [Skripsi]. Jurusan Antropologi Budaya, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.
Badan Pusat Statistik (BPS). (2022). Jumlah Penduduk menurut Wilayah, Daerah Perkotaan/Perdesaan, dan Jenis Kelamin, di INDONESIA – Dataset – Long Form Sensus Penduduk 2020 – Badan Pusat Statistik. Sensus BPS. https://sensus.bps.go.id/topik/tabular/sp2022/187/1/0
Badan Pusat Statistik (BPS). (2024, July 1). Persentase Penduduk Miskin Maret 2024 turun menjadi 9,03 persen. Badan Pusat Statistik. https://www.bps.go.id/id/pressrelease/2024/07/01/2370/persentase-penduduk-miskin-maret-2024-turun-menjadi-9-03-persen-.html
Kusumawardani, D., Hidayati, N. A., Martina, A., Agusti, K. S., Rahmawati, Y., Amalia, Y. Y., & Rahmadaniyah, N. F. (2023). Household Food Waste in Indonesia: Macro Analysis. Polish Journal of Environmental Studies, 32(6), 5651-5658. https://doi.org/10.15244/pjoes/163157
Semedi, P. (2023). Kontestasi Rasionalitas Substantif. Ngasak di Jerman Selatan [Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Dalam Bidang Antropologi Pada Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada]. Universitas Gadjah Mada.
Soma, T. (2017). Gifting, ridding and the “everyday mundane”: the role of class and privilege in food waste generation in Indonesia. Local Environment: The International Journal of Justice and Sustainability, 1-17. https://doi.org/10.1080/13549839.2017.1357689
Soma, T. (2017). Wasted Infrastructures: Urbanization, Distancing and Food Waste in Bogor, Indonesia. Built Environment, 43(3), 431-446. 10.2148/benv.43.3.431
Soma, T. (2018). (Re)framing the Food Waste Narrative: Infrastructure of Urban Food Consumption. Indonesia, (105), 173-190.
UN Environment Programme (UNEP). (2024). Think Eat Save. Tracking Progress to Halve Global Food Waste: Food Waste Idex Report 2024. United Nations Environment Programme. https://www.unep.org/resources/publication/food-waste-index-report-2024