Food estate menjadi salah satu program strategis pemerintah Indonesia untuk meningkatkan ketahanan pangan di tengah ancaman krisis global. Proyek ini dirancang sebagai kawasan terpadu yang menggabungkan aktivitas pertanian, peternakan, dan perikanan dalam skala besar. Menurut data Kementerian Pertanian, Indonesia telah mengembangkan food estate di tiga lokasi utama, yaitu Provinsi Sumatera Utara, Provinsi Kalimantan Tengah, dan Provinsi Papua, dengan total luas lahan mencapai 165.000 hektar. Di Provinsi Kalimantan Tengah, misalnya, lahan food estate mencapai 30.000 hektar yang difokuskan untuk tanaman padi, jagung, dan singkong. Proyek ini bertujuan untuk memastikan stabilitas pasokan pangan nasional sekaligus mendukung ekspor komoditas unggulan.

 

Food estate diharapkan mampu meningkatkan produktivitas pangan secara signifikan dengan mengadopsi teknologi modern. Pada tahun 2023, hasil panen padi di kawasan food estate Provinsi Kalimantan Tengah tercatat mencapai 4,5 ton per hektar, meningkat dari rata-rata nasional sebesar 3,8 ton per hektar. Selain itu, sistem irigasi canggih dan penggunaan benih unggul menjadi faktor utama keberhasilan program ini. Pemerintah juga mengintegrasikan peternakan sapi di beberapa lokasi food estate, yang menghasilkan 40.000 ekor sapi per tahun untuk memenuhi kebutuhan protein hewani. Pendekatan ini memastikan efisiensi penggunaan lahan sekaligus meningkatkan nilai tambah ekonomi.

 

Food estate juga memberikan dampak positif pada penciptaan lapangan kerja di daerah pengembangan. Menurut data Kementerian Pertanian, proyek ini telah menyerap lebih dari 150.000 tenaga kerja lokal di berbagai sektor, mulai dari budidaya hingga distribusi hasil panen. Selain itu, program ini memicu pertumbuhan ekonomi lokal dengan meningkatkan pendapatan petani hingga 25% dibandingkan sebelumnya.

 

Namun, pelaksanaan food estate tidak lepas dari tantangan, terutama dalam aspek keberlanjutan lingkungan dan dampak sosial. Beberapa kelompok masyarakat adat mengkritik proyek ini karena mengubah fungsi lahan tradisional yang mereka gunakan untuk kebutuhan subsisten, seperti berburu, bercocok tanam, atau mengumpulkan hasil hutan. Mereka terdampak secara langsung oleh perubahan fungsi lahan, yang menyebabkan hilangnya akses terhadap sumber daya alam tradisional mereka. Selain itu, 10% kawasan food estate di Provinsi Kalimantan Tengah berada di lahan gambut, yang berisiko tinggi mengalami kerusakan ekologis jika tidak dikelola dengan hati-hati, seperti yang dilaporkan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI). Risiko ini mencakup penurunan kualitas tanah dan pelepasan karbon dalam jumlah besar, yang berkontribusi pada perubahan iklim.

 

Di tengah tantangan tersebut, food estate tetap menjadi peluang besar untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Namun, keberhasilan program ini bergantung pada bagaimana pemerintah mengelola risiko lingkungan, memastikan keberlanjutan sosial, dan melibatkan masyarakat lokal dalam proses pengambilan keputusan. Hanya dengan pendekatan holistik dan inklusif, food estate dapat menjadi solusi jangka panjang yang benar-benar bermanfaat bagi seluruh pihak. (OR0)

 

 

 

Referensi

https://www.cips-indonesia.org/post/program-food-estate-jalan-menuju-swasembada-pangan-yang-penuh-rintangan?lang=id

https://kompaspedia.kompas.id/baca/paparan-topik/program-food-estate-dari-rencana-hingga-realitas

https://www.kemhan.go.id/2024/03/13/kementerian-pertahanan-ri-panen-raya-jagung-di-lahan-food-estate-kalimantan-tengah.html