Hujan intensitas tinggi yang terjadi di Kecamatan Sungai Ambawang, Kabupaten Kubu Raya, Provinsi Kalimantan Barat, menyebabkan banjir sepanjang 12 kilometer di ruas jalan utama Trans Kalimantan. Dampaknya tidak hanya pada terganggunya transportasi antar kabupaten dan antar negara, tetapi juga terhadap akses logistik dan mobilitas masyarakat. Tiga desa, yakni Desa Teluk Bakung, Desa Pancaroba, dan Desa Lingga, tergenang hingga ketinggian 60 cm selama sepekan. Peristiwa ini menambah daftar panjang kejadian banjir di Indonesia, dan menegaskan bahwa pendekatan mitigasi bencana berbasis tata ruang dan ekosistem masih lemah diterapkan.

Karakteristik topografi Sungai Ambawang yang datar serta dominasi lahan gambut, seharusnya menjadi perhatian utama dalam perencanaan wilayah. Sayangnya, alih fungsi lahan menjadi perkebunan kelapa sawit dan eksploitasi kayu telah menyebabkan degradasi fungsi hidrologis gambut. Lahan gambut yang seharusnya berperan sebagai penyerap air alami, kini kehilangan kapasitasnya, memperburuk risiko banjir saat musim hujan tiba.

Pemerintah daerah telah menginisiasi sejumlah langkah tanggap, seperti normalisasi sungai dan parit serta wacana pembangunan rumah panggung sebagai adaptasi permukiman. Meski demikian, solusi yang ditawarkan masih bersifat reaktif dan struktural, belum menyentuh akar permasalahan yakni kerusakan kawasan tangkapan air. Upaya seperti pembangunan waduk di wilayah hulu bisa menjadi langkah positif, namun harus diintegrasikan dengan restorasi ekosistem gambut secara komprehensif dan multisektor.

Pengelolaan banjir yang berkelanjutan tidak dapat dipisahkan dari upaya perlindungan ekosistem gambut sebagai sistem resapan air alami. Pemerintah telah merumuskan perlindungan gambut melalui PP No. 57 tahun 2016, namun tantangannya terletak pada konsistensi implementasi kebijakan ini di tingkat daerah. Tanpa penguatan kelembagaan dan penegakan hukum atas alih fungsi lahan ilegal, banjir akan terus menjadi siklus tahunan yang merugikan banyak pihak.

Selain itu, pemetaan wilayah rawan banjir berbasis Sistem Informasi Geografis juga diperlukan sebagai upaya pengendalian banjir secara non-struktural. Pemetaan wilayah rawan banjir dapat mengoptimalkan upaya pencegahan dan antisipasi bencana banjir di titik-titik rawan banjir.

Krisis banjir di Provinsi Kalimantan Barat, khususnya di wilayah strategis seperti Trans Kalimantan, menuntut respons yang lebih dari sekadar reaksi teknis. Diperlukan pendekatan mitigasi yang terintegrasi antara perlindungan ekosistem gambut, pengendalian alih fungsi lahan, dan penguatan sistem informasi kebencanaan. Kolaborasi lintas sektor, termasuk masyarakat sipil dan pelaku usaha, menjadi kunci untuk mendorong transformasi tata kelola wilayah menuju arah yang lebih berkelanjutan dan tangguh terhadap perubahan iklim. (WFD)

 

 

Sumber:

Nurdiawan, O., & Putri, H. (2018). Pemetaan Daerah Rawan banjir Berbasis Sistem Informasi Geografis dalam Upaya Mengoptimalkan Langkah Antisipasi Bencana. Infotech Journal, 4 Nomor 2 Tahun 2018. Available at: https://media.neliti.com/media/publications/414740-none-a821a7ae.pdf (Accessed: 14 April 2025).

Oxtora, R.  (2025). Banjir di Sungai Ambawang Meluas, Ribuan Warga Terdampak. Antara News. Available at: https://kalbar.antaranews.com/berita/629209/banjir-di-sungai-ambawang-meluas-ribuan-warga-terdampak (Accessed: 14 April 2025).

pantaugambut.id (2016). Dampak Kerusakan Lahan Gambut-Banjir. pantaugambut.id. Available at: https://pantaugambut.id/pelajari/banjir (Accessed: 14 April 2025).

pantaugambut.id (2016). Pemerintah Perkuat Peraturan Tentang Perlindungan Gambut. pantaugambut.id. Available at: https://pantaugambut.id/pantau-komitmen/restorasi-gambut/pemerintah-perkuat-peraturan-tentang-perlindungan-gambut (Accessed: 14 April 2025).

Sani, H. (2025). BPBD Kalbar Soroti Lingkungan Penyebab Banjir Tiga Desa. rri.co.id. Available at: https://www.rri.co.id/daerah/1397627/bpbd-kalbar-soroti-lingkungan-penyebab-banjir-tiga-desa (Accessed: 14 April 2025).[:]